Cerpen Zuriatin Haer
literasikalbar.com - Cerpen Aku dan Ayah Tidak Bicara karya Zuriatin Haer mengisahkan tentang keganjilan keluarga yang ada di sekitar kita. Keganjilan-keganjilan yang membuat pembaca menggeeng kepala dan parahnya sesak di dada. Keganjilan keluarga seperti apa dalam Cerpen Aku dan Ayah Tidak Bicara karya Zuriatin Haer, silakan teman-teman nikmati bacaan cerpen yang aduhai ini.
![]() |
Cerpen Aku dan Ayah Tidak Bicara karya Zuriatin Haer pic pixabay |
Cerpen Aku dan Ayah Tidak Bicara karya Zuriatin Haer
"Arang dalam dadaku melebur jadi abu. Tidak ada lagi yang bisa kubakar selain diriku sendiri."
Aku baru berusia 15 saat Ibu pergi merantau. Belum dan tidak pernah siap menjadi Kakak dan Anak yang baik untuk Adik dan Ayah. Tapi, utang yang menumpuk tidak pernah menunggu kami siap untuk dilunasi. Terakhir kali, penagih datang dan menyita satu-satunya barang yang kusukai di rumah ini; televisi yang belasan tahun lalu dibelikan oleh Kakek.
Betapa bodohnya aku, mengizinkan Ibu pergi setelah diiming-imingi televisi baru. Berikut sepeda keranjang yang bahkan tidak berani kusebut karena tahu Ibu, apalagi Ayah, tidak akan mampu membelinya kala itu. Tapi, Ibu menepati janji. Jangankan sepeda dan televisi. Kini, di rumah kami ada kulkas dan mesin cuci.
“Kata Ayahmu, kamu minta dibelikan motor, ya?”
“Kak, Ayah ambil uang tabunganku. Katanya mau belikan aku HP, tapi sampai sekarang HP-nya enggak ada ....”
Baca Juga : Lomba Menulis Novel 2025 Gratis oleh Dewan Kesenian Jakarta
Hari itu, aku mendapat dua berita yang membuatku tertawa. Siapa yang butuh motor? Kenapa juga adikku yang baru kelas 4 SD harus dibelikan handphone?
Siapa juga yang bicara dengan Ayah?
Jangankan meminta sebuah benda mewah semacam sepeda motor, meminta uang jajan saat akan berangkat sekolah pun, aku tidak pernah. Dia orang terakhir yang mungkin kupikirkan untuk dimintai tolong. Di mataku, Ayah adalah orang semacam itu.
“Nak, Ibu minta tolong pinjamkan Ayahmu 300 ribu dulu, ya? Dia mau beli beras, tapi Ibu belum bisa kirim uang sekarang.”
“Kak, Ayah bilang minta uang jajan ke Kakak dulu.”
Hari itu, gaji pertamaku dari mencabut kacang tanah di sawah, habis dipakai beli beras dan merangkap jadi uang jajan berangkat sekolah. Tentu saja aku ingin marah. Tapi, selain Ayah, aku dan Nisa juga butuh beras untuk makan. Sebelum Ibu mengirim uang, mana mungkin kubiarkan adikku kelaparan.
Ibu sudah janji akan mengganti uangku. Katanya, ambil saja siang nanti setelah ia mengirim uang ke rekening Ayah. Tapi, hingga tahun berganti bilangan, aku tidak pernah menerima uang itu.
Lagipula, siapa juga yang mau bicara dengan Ayah?
Terakhir kali, dia bahkan mencongkel seluruh isi celengan kesayangan Nisa tanpa izin. Adikku tentu saja menangis meraung. Tidak ikhlas uang yang dikumpulkannya dari sisa jajan di sekolah malah hilang dalam semalam. Lalu, siapa lagi yang bisa mengambilnya jika bukan pria tua yang sepanjang hari berbaring menonton YouTube di rumah itu?
Aku jadi ingin ikut menangis meraung seperti Nisa. Menjedotkan kepalanya yang tidak pernah dipakai berpikir, kalau bisa. Daripada jadi pajangan saja. Sangat tidak berguna.
Sial, aku tidak pernah berani melakukannya.
“Nak, Ayahmu mau cerai dari Ibu.”
“Kak, Nisa dengar, Ayah teleponan tadi malam dengan perempuan. Tapi bukan Ibu. Teleponannya lama sekali, sampai Nisa enggak bisa tidur karena ribut.”
Baca Juga : Novel Sejarah Ngayau: Misteri Manusia Ikat Kepala Merah (Tue Fung Theu) karya R. Masri Sareb Putra
Hari itu, aku bingung merespon mereka berdua. Jadi, menginap di rumah Kakek jadi pilihan untuk melarikan diri. Kabar yang sebenarnya tidak mengejutkan itu, tetap membuatku frustasi dan sakit hati.
Sebentar saja, aku hanya ingin melarikan diri. Rumah itu memuakkan. Apalagi menyadari tinggal seatap dengan orang yang sialnya kupanggil Ayah, aku merasa setiap sudut ruangan terasa menjijikkan.
Jangankan bicara, aku sudah tidak ingin bertatap muka dengan orang sehina dia.
“Kak, tadi malam Ayah ke kamar Nisa. Dia buka baju Nisa, lalu pegang ini ... sama ini.” Adikku menunjuk dada dan selangkangannya.
Hari itu, langit seakan runtuh di atas kepala. Tubuhku gemetar dan lemas. Tangisku pecah jadi raungan yang buas. Dadaku sesak dihimpit amarah yang berdesakan minta diledakkan.
Bajingan mana yang seperti Ayah? Aku ingin Ayahku ditukar dengan bajingan itu. Aku tidak sudi punya Ayah sepertinya. Ibuku lah istri terbodoh di dunia, karena gagal membedakan hewan dan manusia.
Tidak ada manusia bergelar “Ayah” yang melecehkan anak gadisnya.
Dia jelas bukan manusia.
Hari itu, kubakar rumah yang susah payah dibangun Ibu tanpa ragu. Sedang aku dan Nisa, tinggal di rumah Nenek. Setelah Ibu pulang dan mengetahui apa yang terjadi pada kami, pria yang tidak sudi lagi kupanggil Ayah itu dipenjara.
Tiga bulan mendekam di sana, Kakek mengabarkan orang itu sakit parah. Ibu dan Nisa malah pergi menjenguknya. Sedang aku, mengamuk marah karena tidak terima.
Dia harus mati kesepian di sana.
Tidak ada yang boleh mengajaknya bicara.
“Nak, Ayahmu mau ketemu. Sekali saja, katanya dia mau sekali bicara sama kamu.”
Semingguan, Ibu terus membujukku untuk bertemu orang itu.
Tapi, siapa juga yang sudi bicara dengannya?
Baca Juga : Sayembara Penulisan Cerita Anak Dwibahasa (Jawa-Indonesia)
Api dalam dadaku masih menyala-nyala. Panas dan baranya terus menjalar sampai kepala. Tidak pernah pula kuizinkan reda. Aku tidak sudi memadamkannya.
“Nak, Ayahmu meninggal. Besok mau, ya, datang ke pemakamannya?”
Seharusnya, hatiku yang telah jadi arang, mulai padam begitu kabar itu terdengar. Sayang, apinya malah semakin berkobar.
“Itu anaknya Hendra yang paling besar, ya? Yang katanya pendiam sekali.”
“Iya, yang katanya susah sekali dia ajak bicara.”
Kini, arang dalam dadaku melebur jadi abu. Tidak ada lagi yang bisa kubakar selain diriku sendiri. Tidak rumah, maupun Ayah.
Lagipula, sore itu ... orang yang ingin kubakar sudah tertimbun tanah.
Ayahku ditelan bumi begitu saja. Padahal, kami belum sempat bicara.
Mataram, 27 Februari 2025
***
Zuriatin Haer adalah mahasiswi semester 6 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Mataram. Lahir dan tumbuh di Lombok Tengah, serta telah berkecimpung di dunia literasi sejak 2017. Karya terakhirnya yang terbit adalah Novel “ABIA” dan antologi “100 Puisi yang Terluka”.
Laman Literasi Kalbar menerima tulisan berupa puisi, cerpen, resensi & opini. Silakan kirim ke literasikalbar@gmail.com
Ketentuan tulisan bisa baca di Kirim Tulisan
Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon