Cerita Damay Ar-Rahman
literasikalbar.com – Cerpen berjudul Pudar oleh Waktu karya Damay Ar-Rahman merekam cerita yang sangat pedih bagi pasangan yang diselingkuhi dan dianggap tiada. Hubungan yang semakin terkikisnya rasa satu dari diantara pasangan menjadikan hubungan tidak lagi berjalan mulus dan membahagiakan. Latar tempat cerita yang disuguhkan oleh penulis sangatlah jauh dari Indonesia dan memberikan kesan bahwa cerita ini seperti cerita luar negeri dengan nama tokoh yang tak biasa.
Cerpen Pudar oleh Waktu Pic Pixabaycom |
Cerpen Pudar Oleh Waktu
"Jangan dekat..." Teriak seorang pria tua berseragam polisi.
Suasana begitu riuh dengan kendaraan-kendaraan yang bertumpuk di area lokasi hotel. Dari kejauhan terdapat sekelompok orang sedang melihat pemuda yang terjatuh sepulang dari apotik. Pemuda itu dipanggil Lie. Mata Lie menatap nanar ke langit mendung. Lalu, sehelai kain memulas lembut wajah Lie. Kain itu halus dan harumnya menembus hingga dalam dadanya.
Lie menatap langit-langit yang semakin diselimuti oleh awan-awan gelap. Menandakan bahwa hujan akan turun sesaat lagi. Lelaki yang wajahnya mulai memerah itu masih menatap datar pada surya yang memudar. Memudar karena akan berganti malam. Entah mengapa hari ini begitu dingin. Sepi dan tak sedikitpun cahaya yang ditunggu-tunggu datang menemani.
Lie masih berat terbangun dari rebahannya. Ia tahu! Di setiap sudut jalan orang-orang berkerumun menatapnya. Ia tidak menggubris, tetapi ia merasa aneh pada dirinya. Bukan itu masalahnya. Tapi, kesepian yang mulai menggelapi. Mengapa seperti sesak, jelmaan bayang-bayang hitam mulai menghalang pandang. Tangannya seperti tak bertulang. Detakan jantungnya sangat cepat.
Tidak...tidak...
Baca Juga: Orang-Orang di Jalan Permohonan & Puisi Damay Lainnya
Ini mungkin hanya hari ini. Karena rasa lelah atau mungkin cuaca sedang tidak bersahabat. Ia merasa harus bangun dengan sekuat tenaga. Mungkin orang-orang di sini sedang tidak ingin membantu. Bukankah Xiang Ji pernah berkata. Kalau kau ingin berdiri berdirilah, jika kau ingin diberdirikan tunggulah sampai gelap. Walaupun ungkapan itu terucap lima belas tahun silam, tapi kata-kata itu tidak sedikitpun luput dari ingatannya.
Lie masih pekat merasakan ucapan itu. Ia tahu maknanya. Begitu menusuk dan menyengat. Memang benar kata orang lama, tak semua hidup dibangunkan oleh harta, tetapi kata-kata bisa menyelamatkan dan berpengaruh besar.
Xing Ji, ia selalu bijak menanggapi persoalan orang-orang apatis, orang-orang egois, termasuk Lie yang terkadang menyinggung hatinya, perasaannya yang halus walaupun kadang-kadang perempuan itu menyebalkan. Ia selalu bertahan dengan tingkah buruk Lie. Ia sadar betapa kurang cantiknya dia. Tapi jika dibandingkan dengan wanita lainnya, masih kalah jauh dari Xiang yang memiliki hati bagai kemilau cahaya bintang di langit. Ah... dia benar-benar manusia berhati malaikat.
***
Di malam itu, rembulan begitu benderang menyinari. Dinginnya malam begitu menyumsung hingga ke tulang. Jika orang-orang berjalan menelusuri sebuah jalan di perbatasan kota Wuhan, mereka akan menemukan seorang gelandangan berusia sepuluh tahun di samping tong sampah sedang membungkus dirinya dengan selimut tebal. Terlihat lusuh dan sangat kotor.
Anak itu tidak sedikitpun menatap orang-orang yang melintas di hadapannya. Ia bergetar dan kedinginan. Ia tidak henti-hentinya berharap. Berharap ada seorang dermawan menolongnya dari kemalangan. Kabur dari rumah adalah tujuannya. Kemelaratan adalah resikonya. Apapun keburukan menimpanya, ia siap daripada harus balik ke rumah neraka itu.
Lonceng berbunyi terdengar dari arah toko seberang jalan. Itu menandakan sudah tengah malam. Dua bulan sudah ia berada dijalanan. Tubuh putih mulusnya sudah berkerut seperti selepas memegang es batu. Rambutnya acak-acakkan. Terlihat kusam dan bau.
Di kejauhan seorang gadis kecil sedang bergandengan dengan lelaki dewasa. Anak perempuan itu berlompat-lompat sambil menggoyangkan tangan kanannya. Kedua manusia itu terlihat habis membeli sekotak kue coklat. Anak perempuan itu terhenti karena sesuatu yang dilihatnya.
Baca Juga : Lomba Menulis Gratis 2024
“Ayahhhh.....ayah.....” Panggilnya sambil menarik baju sang ayah.
“Xiang Ji. Ada apa nak?” Lelaki dewasa itu bertanya heran.
“Ayah lihat itu.” Sambil menunjuk ke arah tong sampah pada anak laki-laki bernama Lie.
Lie mulai takut. Ia semakin menyelimuti tubuhnya. Ia cemas akan di bawa ke kantor polisi atau ke mana yang mungkin akan mengembalikannya. Ia lebih baik mati daripada pulang. Ayah dan anak perempuannya itu langsung mendekati Lie. Lie ingin berlari, tetapi penutup tong sampah tiba-tiba terbuka dan mengenai kepalanya.
Lie merintih kesakitan. Tubuhnya tiba-tiba lemas, tatapannya mulai menggelap. Walaupun kepalanya sedikit mengeluarkan darah, Lie sekuat tenaga bangun untuk berlari. Tapi, pandangan gelap itu membuatnya gagal untuk menghindar. Tapi benar-benar sial ucapnya. Setelah menyebrang ia jatuh di gumpalan salju depan toko respirasi jam.
***
Suasana Kota Wuhan sangat ramai. Terlihat beberapa anak-anak dan remaja berderet rapi di terminal bus menuju sekolah. Wuhan terlihat bersih setiap pagi. Toko-toko belum semua terbuka. Xiang Ji berjalan dengan sedikit lambat. Wajahnya terlihat murung seperti sedang kesal terhadap seseorang. Di belakang Lie mengejarnya sambil memanggil namanya. Tapi Xiang Ji acuh sepertinya lagi-lagi Lie membuatnya marah.
“Hei jangan seperti itu Xiang. Aku hanya bercanda.” Lie memanggilnya sambil mengangkat tangan kananya, dan Xiang masih diam dengan ekspresi datar.
“Hei jawablah.” Ucap Lie sambil menyenggol pundak Xiang untuk memancingnya.
“Kau keterlaluan Lie, mereka adalah tetanggaku yang baik. Mengapa kau begitu jahat pada mereka.”
“Aku sungguh tidak berniat mengambil bonekanya. Aku suka aja dan meminjamnya sebentar.”
“Di usiamu yang sudah 15 tahun ini? Kau memalukan.”
Xiang memalingkan wajahnya dan menatap sinis pada Lie.
“Asal kau tahu, walaupun mereka muslim, mereka sangat berbudi dan tahu menolong. Jika tidak ada ayah Syarifah, ayahku akan di babak belur oleh rentenir. Aku sangat membencimu, mereka sudah seperti saudaraku.” Xiang seperti ingin menangis.
“Baiklah-baik, aku akan meminta maaf pada Syarifah. Tapi jangan diam ya. Maafkan aku” Lie menatap Xiang dengan penuh permohonan maaf.
“Kau tak salah padaku Lie, kau salah pada mereka. Kau harus berjanji untuk tidak menganggu Syarifah lagi.”
“Iya Xiang.” Lie menunjukkan wajah polosnya.
Lie tersenyum lega. Hari itu Lie berjanji tidak akan lagi mengecewakan gadis itu. Syarifah sebulan kemudian pindah ke Brunai, dan Lie membuat Xiang senang dengan menghadiahi Syarifah sebuah jam tangan cantik.
Baca Juga : Literasi untuk Membangun Masa Depan Cerdas
Syarifah dan keluarganya pamit dengan keluarga Xiang. Ibu Xiang meneteskan air mata, dan ayahnya memeluk ayah Syarifah pria berdarah Turki. Semua tampak sedih saling mengucapkan perpisahan. Mobil sedan bertulis taksi di atasnya berhenti dan membawa keluarga Syrifah ke Bandara. Xiang tak henti-hentinya menangisi kepergian sahabat suka dan dukanya itu. Lie terus menenangkannya sambil merangkulnya.
“Jangan menangis Xiang” Ucap Lie sambil menghapus air matanya.
“Aku sudah kehilangan sahabat terbaik Lie.”
“Jadi aku kau anggap apa?” Lie melepas rangkulannya.
“Di saat seperti ini kau masih sempatnya bercanda Lie. Kau adalah sahabat terbaikku juga.” Xiang menumbuk kecil bahu Lie.
“Kalau begitu jangan menangis. Seorang sahabat selalu ingin sahabatnya tersenyum. Kita kan bisa menghubungi Syarifah lewat telepon atau email. Kau tak perlu khawatir Xiang.” Ucap Lie sambil menghapus air mata Xiang yang menunduk.
“Kau sok jago Lie.”
“Eh kau lupa aku pemenang olimpiade Ipa.” Lie berkata sombong sambil menatap langit dan meletakkan kedua tangannya di pinggang.
“Dasar kau.” Xiang tersenyum.
Sejak Lie di bawa ke rumah Xiang oleh ayahnya, Lie merasa keluarga Xiang sangat menyayanginya. Awalnya Lie sempat kabur beberapa kali, mengambil uang dan memaki ayah Xiang. Tapi, ayah Xiang dan ayah Syarifah membantu menenangkan Lie. Lie diasuh layaknya seorang anak oleh keluarga Xiang. Ia di sekolahkan. Dan yang paling penting, keluarga Xiang tidak pernah mengungkit masa lalu Lie apalagi mempertanyakannya.
Masa lalu Lie sangat menyakitkan. Ibunya harus terbunuh karena tingkah ayahnya yang pemabuk, penjudi, dan pemain wanita. Ibunya yang tak bersalah harus menjadi korban kekerasan dan mati dihantam vas bunga ke wajahnya. Untunglah Lie anak tunggal. Maka itu ia memilih pergi karena tak seorangpun lagi yang akan menyayanginya. Keputusan itu ia ambil saat ayahnya tertidur pada tengah malam. Lie mengambil semua uang lalu pergi ke Wuhan tanpa menitipkan pesan.
***
10 tahun kemudian.
Lie keluar dari sebuah pertokoan. Tokoh besar dengan desain tradisional. Lie di jaga ketat oleh banyak pengawal. Ia harus berhati-hati agar fansnya terkontrol jangan sampai berteriak histeris ingin bertemu Lie.
Kebayakan dari mereka bersuara remaja perempuan. Mereka sangat antusias atas kehadiran Lie. Sampai-sampai ada yang menabrak orang lain di depannyaa demi bertemu langsung dan meminta tanda tangannya. Tak peduli orang-orang itu saling memaki bahkan menyenggol orang lain hingga terjatuh. Lie sudah mulai lelah malam itu. Sebenarnya ia enggan pergi langsung ke apotik. Manajer Lie melarangnya karena pasti situasi itu akan terjadi.
Lie menutupi wajahnya dengan topi, berpura-pura berjalan seperti orang biasa. Kerumunan itu tertinggal di belakangnya. Lie memulas dadanya dan menghembuskan nafas. Ia membuka jeket, topi, lalu kaca matanya. Sepanjang jalan cahaya warna-warni menghiasai kota. Berjejeran orang-orang menjajakan makan malam di taman terutama di pusat pembelanjaan.
Baca Juga: Pesan dari Negeri Asing
Lie menyenderkan bahu dan kepalanya ke bangku mobil. Lalu ia menyampingkan kepalanya ke kanan menatap jalan yang kosong. Entah mengapa Xiang begitu dalam di pikirannya. Kejadian empat belas hari yang lalu benar-benar sulit diterima. Sejak Xiang pergi, ia tidak berselera dengan apapun siatuasi. Ia tidak peduli dengan apapun. Sudah tiga iklan terbaik ia tolak dalam minggu ini. Menyanggahnya karena butuh istirahat. Memang Lie tidak bersemangat.
Malam itu saat subuh hampir menjelang, Xiang terlihat tidur di meja makan. Sepasang lilin berdampingan menyinari ruang yang sedikit gelap. Sebuah vas dihadiri oleh bunga berkelopak merah dara. Beragam makanan terhidang, tetapi terlihat menghangatkan. Sayangnya Xiang sudah tertidur bahkan Liepun belum pulang.
Tiba-tiba suara mobil terdengar. Pintu terdengar gaduh seperti ada seseorang yang menendangnya. Pintu itu seperti terhantam ke dinding. Ternyata Lielah yang melakukannya. Xiang terbangun dan kaget. Ia segera berlari karena khawatir dengan suara yang mendebarkan itu. Apa yang dilihat Xiang. Lie sedang menyentuh kedua dada wanita berpakaian amat terbuka. Mereka saling menindih di sofa ruang tamu.
Lie sangat berbuat tidak pantas di mata Xiang. Xiang dianggap apa. Apa guna pernikahan yang digelar tujuh bulan lalu. Xiang amat sedih dengan perbuatan suaminya yang bukan hanya sekali dilakukan. Tetapi, Xiang bersedia menemani dan sabar apapun tingkah Lie.
“Hentikan Lie.” Xiang berteriak dengan suara serak.
Lie melihat wajah Xiang dengan tatapan benci.
“Kenapa hah?” Ucap Lie melepas pelukan wanita itu.
“Mengapa kau begitu tega denganku Lie. Jika memang kau benci, mengapa kau menikahiku dulu.” Tanya Xiang sedih.
“Kau mau tahu bodoh! Kau seharusnya menolakku saat aku berpura-pura ingin menikahimu. Itu hanya sandiwaraku agar aku disangka baik. Seharusnya kau tahu diri, tubuh gemuk dan kurang cantik sepertimu tidak pantas mendapatkan diriku.” Lie menjawab kasar.
Serasa seribu pedang menyayat hati Xiang. Ia tak menyangka lelaki yang amat disayanginya ternyata membodohinya, membencinya, bahkan tega menyakitinya secara tajam. Ia terus menangis mempertanyakan dalam hati mengapa ia harus jatuh cinta pada orang yang bukan untuknya.
“Kau benar Lie. Aku pikir kau benar-benar mencintaiku. Kata-katamu yang utarakan di media, membuatku terpesona hingga aku tak menyadari bahwa semua hanya demi egomu. Tapi aku sangat berterima kasih Lie, saat ibuku meninggal lima tahun lalu dan ayahku selanjutnya menyusul, kau bersedia menikahiku.
Baca Juga : Aku Baru Tahu Ternyata Istriku Berbohong
Aku tak mengira apapun. Tapi, setidaknya ayahku sempat melihat putri semata wayangnya menikah. Walaupun berujung nestapa yang aku terima. Semoga kau bahagia dengan ketiadaan aku. Kau kini berubah Lie, sejak dunia hiburan telah menjadi sahabatmu. Sehingga kau lupa padaku. Aku akan terus berdoa atas kebahagiaan mu Lie.” Xiang pun berlari keluar meninggalkan Lie yang bengong bersama wanita itu di belakangnya.
Lie memasang wajah cemberut. Tapi, separuh hatinya merasa berdosa dengan wanita yang kini sudah disakitinya. Lie tidak mengejarnya. Tapi tubuhnya lemas seketika. Ia menyuruh wanita malam itu keluar. Walaupun sempat melawan, Lie tetap memaksanya. Ia menutup pintu, lalu ke dapur dan dilihatnya meja makan telah dihiasi makanan yang harumnya mengingatkannya pada masa kuliah mereka dulu.
Semua seperti daun berguguran. Tanaman bunga yang awalnya sempat mewarnainya kini luput tak berbekas. Kata-kata Xiang benar-benar membuatnya sesal. Lie berlutut dan menunduk. Ia meremas rambutnya. Air matanya berlinang untuk kedua kalinya, ketika pertama menangisi kematian ibunya. Itu mungkin tak terhitung saat ia masih bayi. Tapi, Lie sangat keras kepala sehingga berjanji mulai usia enam tahun takkan menangis.
“Bodooh..bodoooh.” Ucap Lie berteriak sambil memukul kepalanya. “Xiang ke mana kau. Jangan tinggalkan aku.”
Lie berlari, kakinya terkena anak tangga teras rumah lalu terjatuh. Ia mendapati sebuah surat dan jam tangan di kotak kayu yang sepertinya tidak asing ditatapnya. Ini adalah kotak yang kuinginkan dari Son Juang karena mencurinya dariku.
Lie ingat, saat SMA Lie menginginkan sebuah jam tangan milik musuh bebuyutannya dulu. Dan tahukah? Di situ tertulis Xiang yang telah memberikannya. Pantas saja gadis itu sangat sederhana kehidupanya demi membelikan hadiah untuk Lie.
Lie semakin terpukul. Ia berlari kencang sambil berteriak. Di kejauhan terlihat sekumpulan orang sedang mengerumuni sesuatu. Sepertinya kecelakaan telah terjadi. Lie yakin bukan Xiang di tengahnya berbaring. Tapi, Lie harus melegakan hatinya. Ia pun menguatkan kakinya melangkah untuk melihat seseorang di situ.
Lie akhirnya menghembuskan nafas tenang. Korban itu bukan Xiang. Tapi, ternyata baru satu yang dilihatnya. Xiang salah satu korban tabrak lari yang paling parah kondisinya. Sekujur tubuhnya hampir dipenuhi darah hingga membasahi rambutnya. Lie bergetar, ia menerobos orang-orang yang terkejut dengan kehadiran artis papan atas itu.
“Maafkan aku Xiang. Aku menyesal.” Ucapnya tersedu.
“Kau tak perlu meminta maaf Lie. Aku yang tidak tahu diri karena mencintaimu. Aku yang bodoh karena percaya pada hatiku.”
“Tidak Xiang. Aku beruntung memiliki belahan jiwa sepertimu.”
“Apapun yang terjadi denganku percayalah Lie. Kau adalah orang pertama dan terakhir yang aku cintai.” Lirihnya.
Tiba-tiba mobil ambulan terdengar dari jauh. Lie mengangkat tubuh Xiang dengan perasaan takut.
***
Sebuah televisi raksasa menampilkan pria dengan gaya baju terbaru paling mahal di Cina di gedung perbelanjaan di depan apartemen Lie. Ia membisu menatap poster itu. Dulu, dirinyalah yang tergambar dan menjadi perhatian para masyarakat. Kini, orang-orang mulai melupakannya yang lusuh dan tidak terurus.
Sejak Xiang pergi meninggalkannya, Lie depresi. Ini adalah satu tahun dua bulan kepergiannya. Obat-obat terlarang menjadi pengalihnya. Ia sering mengurung diri. Mengkonsumsi makanan-makanan ekstrim seperti ular dan kelelawar yang dipesannya. Ia benar-benar hilang kesadaran. Biarpun ia mati atau hidup seperti mati.
Baca Juga : Literasi Digital Kunci Kesuksesan Generasi Muda
Lie merasa apartemennya sangat panas. Sepertinya pendingin ruangan telah di matikan karena Lie telat membayar. Lie pun keluar dari kamarnya. Ia mengenakan jaket coklat. Entah mengapa tercium olehnya bau-bau menyengat yang sebelumnya tidak ia kenal.
Dihadapannya tiba-tiba seorang pria tua pingsan dengan tubuh mengigil. Lie yang kaget mendekati pria itu dan mencoba menolongnya. Pria tua itu muntah dan mengenai wajah Lie. Lie yang tidak peduli hanya mengelapnya dengan saku baju. Ia berusaha membawa pria itu dan meminta tolong. Tapi, mengapa orang-orang enggan dan seperti takut mendekat.
“Coronaa.coronaa..” Seseorang menunjuk ke arah Lie.
Tiba-tiba polisi dan perawat menggunakan baju putih menutupi tubuh mereka. Lie tidak tahu apa yang terjadi. Setelah ia dipinta mundur ia pun masih bingung tentang keadaan yang tampaknya menyeramkan bagi orang sekitar.
Hanya butuh satu jam sebuah virus yang didengar Lie tiba-tiba mulai merambahi tubuhnya. Ia mengingil, bergetar, kepalanya sakit, flu yang sudah tidak beraturan. Karena tidak tertahankan oleh fisiknya, ia terjatuh. Ia menatap langit datar dengan mata melotot. Nafasnya tersengal seperti ada sesuatu yang besar menyumbat tenggorokannya. Tiba-tiba angin tenang tiba. Di susul dengan kain tipis lembut memulas wajahnya. Terlihat seseorang yang tak asing baginya. Wajah seorang wanita tersenyum dan semakin mendekat.
Lie tertawa. Ia ingin meraih wanita itu. “Terima kasih Xiang.” Lie mengucap pelan lalu menutup mata.
2020
Damay Ar-Rahman atau Damayanti alumni Universitas Malikussaleh dan IAIN Lhokseumawe. Sehari-hari mengajar dan sebagai penulis lepas/tenaga administrasi. Penulis telah menerbitkan sembilan buah buku diantaranya Aksara Kerinduan (2017), Serpihan Kata (2018), Senandung Kata (2018), Bulan di Mata Airin (2018), Dalam Melodi Rindu (2018), Akhir Antara Kisah Aku dan Kamu (2020), Di Bawah Naungan Senja jilid 1&2 (2022), dan Musafir (2022). Tulisannya dimuat oleh surat kabar lokal, nasional, dan Malaysia. Beberapa kali mengisi kelas menulis dan menjadi pelatih sastra. Saat ini penulis menetap di Lhokseumawe, Aceh. Ig/Fb @damay_ar-rahman
Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon