Cerpen Depri Ajopan
Literasikalbar.com - Depri Ajopan menyajikan cerita tentang reaita seorang guru sekolah yang memiiki semangat menebarkan sastra pada anak didiknya. Namun, beberapa hal menjadi kendala bahkan menarik dialog sang guru dengan siswa mengenai menulis dan sastra. Cerita ini mengingatkan pembaca bahwa sastra dan keterampian menulis sudah semestinya diseriusi untuk bekal peserta didik.
Belajar Sastra pic pixabay |
Belajar Sastra
"Aku tidak ingin anak-anakku jadi super sibuk target hanya naik kelas atau kelulusan semata. Tapi Mereka tidak punya keterampilan apa-apa yang bisa diandalkan termasuk menulis."
Lonceng baru saja berdenting, mereka kelas 12 selalu masuk berdesak-desakan ke ruang kelas. Begitu suasana tenang, aku pun berkomentar.
“Dengarkan baik-baik adek-adek. Belajar materi Bahasa Indonesia dengan saya ada beberapa tujuan tertentu,” sengaja suaraku lantang.
Beberapa poin yang tiba-tiba hinggap di kepalaku segera aku tulis. Ia lahir setelah aku perhatikan tingkah murid-muridku di kelas waktu aku pidato memberi materi. Aku ingin menunjukkan pada murid-muridku tentang diriku sebagai seorang guru yang tegas. Tidak suka bermain-main ketika belajar. Aku memutar tutup spidol berwarna hitam membuat garis lurus di papan tulis. Kemudian menulis beberapa hal yang perlu untuk mereka ketahui dan terus diingat, tidak boleh terlupakan, apalagi sampai dilanggar.
Tujuan belajar Bahasa Indonesia dengan Pak Teguh. Aku menulis nama sendiri. Pertama Bisa memahami sastra secara keseluruhan. Kedua mampu menjawab soal-soal Bahasa Indonesia yang sering menipu siswa. Ketiga lulus ketika ujian. Terakhir, memiliki minimal satu keterampilan, baik menulis, membaca atau berbicara.
Tulisan yang baru aku goreskan di papan itu mengalir dari opiniku sendiri. Aku tidak ingin anak-anakku jadi super sibuk target hanya naik kelas atau kelulusan semata. Tapi Mereka tidak punya keterampilan apa-apa yang bisa diandalkan termasuk menulis. Apalagi kalau hanya fokus untuk membahas soal-soal karena tergiur ingin mendapatkan angka-angka tinggi. Boleh mereka bercita-cita dapat nilai tinggi itu, bagus. Tapi bukan itu tujuan utama.
Naik kelas dan kelulusan itu penting. Tapi ada yang lebih penting dari itu, memiliki keterampilan yang mumpuni. Kenyataan di lapangan yang aku temukan, mereka yang lulus dan dapat angka yang tinggi di sekolah, lebih dikhawatirkan terombang-ambing di jalanan, daripada mereka yang tidak memiliki angka itu sama sekali, tapi punya keterampilan yang matang dan terus diasah.
Baca Juga: Kisah Cinta Abadi dan Puisi Ivan Aulia Lainnya
Begitu banyak mereka yang mendapat kelulusan tapi suntuk setiap waktu karena belum dapat pekerjaan. Dulunya ia sibuk dengan angka-angka. Sampai lupa mengasah terus menerus keterampilannya yang berbobot dan jauh lebih bernilai dari kelulusan itu sendiri. Akhirnya keterampilannya tumpul.
Aku sebagai seorang guru tentu ingin menjadikan mereka, anak-anakku naik kelas dan mendapatkan kelulusan. Tapi motif utama menanamkan keterampilan pada jiwa mereka dengan harapan, keterampilan yang diamalkan bisa membuat mereka berhasil yang nilainya lebih tinggi dari kelulusan itu sendiri. Aku berharap nanti bukan saja raport dan ijazahnya lulus. Kepribadian dan jiwanya juga ikut naik kelas.
Aku ingin mengisi nurani mereka dengan nilai-nilai pendidikan yang menjernihkan hati. Dan jelas caraku mendidik mereka tidak setitikpun bertentangan dengan nilai-nilai agama siapapun. Aku tidak mau mencoret wajah mereka, apalagi sampai menjerumuskan mereka kejurang kecurangan. Seperti seorang guru, yang memberi bocoran soal pada murid-muridnya waktu ujian, karena mereka takut murid itu tidak naik kelas, atau tidak mendapat kelulusan. Akhirnya ia sebagai seorang guru merasa dipermalukan.
“Saya belum paham penjelasan yang nomor satu Pak. Memahami sastra secara keseluruhan. Maksudnya, Pak?” Nama murid yang baru mengacungkan tangan itu Ahmad. Ia mengerjab-ngerjabkan mata. Tangannya ikut bermain seakan ia seorang pemikir. Hatiku gembira melihat ia bergaya seperti itu.
“Memahami sastra secara keseluruhan. Berarti bukan sekadar membaca biasa,” sejenak aku menelan ludah.
Aku menganggap ia seorang awam yang minim pemahaman tentang sastra. Aku anggap pengetahuannya masih sejengkal. Aku ibarat burung merak yang terbang, dan ia seekor semut yang merangkak-rangkak di atas tanah yang berdebu. Bukannya aku sombong, tapi aku sebagai seorang pendidik harus memiliki rasa percaya diri.
“Memangnya ada cara membaca yang luar biasa, Pak? Menurutku membaca itu, ya dengan cara biasa-biasa saja.”
Baca Juga: Anak dan Orang Tua Puisi Imam Budiman
Aku mau tertawa mendengar kalimatnya. Dan ia berargumentasi mengeluarkan pendapat sendiri, aku senang sekali. Sebenarnya ia bermaksud menyanggahku. Aku suka murid yang kritis seperti dia. Waktu aku sekolah seusianya dulu, aku juga siswa yang sangat kritis. Aku tidak mau mengangguk-anggukkan kepala begitu saja seperti kebanyakan teman-temanku, apalagi setelah mendengar penjelasan yang bertentangan dengan pemikiranku.
“Mencicipi karya sastra, tidak seperti membaca biasa. Saya beri contoh, mereka pembaca karya sastra biasa. Ketika si pembaca menemukan kalimat yang lucu ia terkekeh-kekeh. Begitu berjumpa dengan kalimat-kalimat yang sedih ia menangis. Airmatanya yang mengalir deras sampai menetes di atas kertas. Sehingga ia memberi kesimpulan yang keliru, karya sastra yang bagus adalah, karya sastra yang sedih ceritanya. Semakin sedih ceritanya, semakin bernilai karya sastra itu. Padahal membaca karya sastra, tidak dilihat dari sedihnya cerita saja,” aku terdiam sesaat menarik napas.
“Misalnya setelah membaca novel Sitinurbaya. Banyak yang salah menafsirkan, menyebut kawin paksa,” buku catatan sengaja aku singkirkan jauh-jauh dari hadapanku. Aku takut kata-kataku dicurigai seorang plagiat.
“Padahal jelas-jelas bapaknya Sitinurbaya memberi pilihan pada anaknya, kalau tidak berkenan di hati tidak usah Sitinurbaya kawin dengan Datuk Maringgih, seorang saudagar kaya itu. Dalam novel tersebut juga ada kesalahan yang dibenarkan orang-orang. Ketika Datuk maringgih menampar istrinya Sitinurbaya setelah ia tahu Sitinurbaya berduaan dengan Samsul Bahri mantan kekasihnya dulu.”
Belum sempat aku melanjutkan penjelasan yang terang seperti sang surya, seseorang memotong pembicaraanku lagi, “Di mana letak kesalahannya, Pak?” Dia seorang perempuan.
Namanya putri, nama pasaran. Ia duduk tepat di bangku paling belakang, badannya yang montok bersandar ke tembok. Aku semakin tertantang, dua orang siswa sudah aku pengaruhi menuju arus yang benar. Aku sudah berkhayal tinggi, keberhasilanku membawa mereka untuk mencintai dan banyak membaca karya sastra pintunya mulai terbuka pelan-pelan, walaupun tidak sepenuhnya. Cahayanya yang melejit mulai masuk lewat celah pintu yang sempit itu.
Aku sendiri yang harus berusaha keras untuk mendorong pintu itu sampai terbuka lebar, jangankan cahaya, seekor kerbaupun nanti bisa menerobos dengan angkuh di sana. Aku berharap, setelah nanti mereka banyak membaca karya sastra, mereka gelisah sendiri dan akhirnya mulai menulis, akhirnya jadilah seorang pengarang.
“Dalam konflik yang terjadi di situ, pembaca yang kurang jeli menyalahkan Datuk Maringgih. Beda kalau pembacanya benar-benar teliti. Datuk Maringgih melakukan tamparan karena istrinya telah selingkuh. Jadi, pembaca yang tahu sastra tidak selalu terpengaruh kepada tokoh-tokoh yang disukai dalam novel. Dan menganggap semua kelakuannya benar.”
Baca Juga: Orang-Orang di Jalan Permohonan & Puisi Damay Lainnya
Untuk membuat suasana lebih hidup, aku sengaja mondar-mandir. Aku berharap semangat anak-anakku belajar sastra bukan saja menggebu-gebu, tapi masih di atas bergelora. Aku berkelililing, dan mengatur intonasi suaraku. Ilmu retorika yang kupunya sudah kubuktikan kemanjurannya.
“Tapi ada satu hal yang penting untuk kalian ketahui, pengarang itu manusia super. Apalagi selain ia pandai mengarang cerita, seorang kritikus sastra pula, semakin tinggi nilainya. Di negeri kita yang sekarat ini sangat minim kritikus sastra. Begitu banyak karya sastra yang diterbitkan, setelah itu diam begitu saja, tak ada didiskusikan dan tak ada yang memberi komentar. Tak heran jika kita hanya mendengar kelebihan-kelebihan dalam karya sastra, tidak melihat kekurangan yang ada padanya,” suasana tenang, tidak ada berisik dan keributan lain.
Kemudian aku bertanya pada mereka. Novel apa yang pernah dibaca, dan siapa nama pengarangnya?” Semua terdiam.
Aku yang bersemangat serasa dirampas kebahagiaannya. Aku tidak boleh goyah, apalagi sampai menyerah. Tugaskulah sebagai seorang guru sastra yang akan menanamkan nilai-nilai keimanan dan budi pekerti yang baik pada mereka. Kemudian menyelipkan ilmu sastra yang mungkin tak pernah tumbuh di hati mereka, karena selama ini mereka tak tahu sastra itu apa. Aku harus memperkenalkan mereka dengan tokoh-tokoh sastra yang berpengaruh.
“Pak, bukannya menulis novel itu hukumnya haram? Saya pernah dengar ustadz bilang begitu,” entah ustas mana yang mempengaruhi anak didikku.
“Lagian, sastra itukan cerita-cerita lama Pak. Tidak relevan lagi kalau dikaji sekarang,” terpengaruh dari pendapat dari mana lagi dia itu.
Lonceng berdenting, jam istirahat masuk. Aku harus menunjukkan kedisiplinanku. Ada saatnya aku punya kesempatan menjelaskan pertanyaan itu sampai tuntas. Sehingga niat mereka yang ingin jauh dari sastra, malah terbalik jadi mengejarnya meskipun kedatangannya dalam keadaan merangkak.
Depri Ajopan, S.S. Lulusan Pesantren Musthafawiah Purba-Baru, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Menyelesaikan S-1 Prodi Sastra Indonesia di UNP. Sudah menulis beberapa karya fiksi dan sudah diterbitkan. Cerpennya pernah dimuat di beberapa media cetak dan online seperti, Singgalang, Riau Pos, Jawa Pos Radar Banyuwangi, Koran Merapi, Pontianak Post, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Sinar Indonesi Baru, lensasastra.id, Langgampustaka.com, tatkala.co, Kurungbuka.com, Labrak.co, LP Maarif NU Jateng, Harian Bhirawa, ayobandung.com, Mbludus.com, g-news.id, Literasi Kalbar.com, dll. Sekarang penulis aktif di Komunitas Suku Seni Riau mengambil bidang sastra.
Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon