Cerpen Depri Ajopan
Literasikalbar.com - Depri Ajopan menyajikan cerita tentang kehidupan perempuan yang ganjil. Keganjilan tokoh terhadap apa yang dialaminya. terutama dalam menjalani hidup kesehariannya. Tokoh yang merasa terpinggirkan dan tersakiti oleh siapapun. Cerita yang lagi-lagi seperti belum terselesaikan, bisa jadi penulis mengajak pembaca menerka dan melanjutkan akhir cerita.
Pesan dari Negeri Asing pic pixabay |
Pesan dari Negeri Asing
Aku mencintai rambutmu yang terurai. Aku siap menjulurkan lidahku yang merah di keningmu yang lembut untuk menyingkirkan debu jalanan yang menerpa wajahmu menjadikannya sedih. Bahkan aku berani meminum seteguk dosa yang menempel pada jiwamu yang kerdil. Tapi kenapa tangan yang kuulurkan tidak pernah kau genggam?
Kalimat itu yang ditulis lewat pesan, masih bergema dan terus bergelora dalam jiwaku yang membatin. Setiap aku ingin berontak melupakan dia, sepotong pesan itu selalu merong-rong membuat pikiranku yang bergelayut jadi retak.
Aku seorang perempuan yang cedera, sepertinya takbisa melupakan dia, sosok yang takpernah aku temui. Kehidupanku tidak seperti tali yang kau genggam, kemudian kau tarik lurus. Atau seperti air jernih yang mengalir deras ke muara.
Kekejaman hidup yang telah mempermainkanku seperti benang kusut yang rapuh. Lalu kau campakkan ke atas bara api yang bergemuruh. Sudah berapa tahun aku merasa sekujur tubuh ini mendidih dipermainkan penderitaan.
Aku memperjuangkan hidupku yang terkatung-katung sendirian, dan itu kulakukan sendirian sudah beberapa tahun. Ibuku yang sudah meninggal waktu aku masih kecil tersenyum dan saling berpelukan dengan kekasihnya di surga.
Apakah ia pernah menoleh perjalananku yang tergores menginjak duri? Aku harap ia setia merenggangkan sayap, dan bergegas mengajakku terbang suatu saat nanti, setelah ia mengusab wajahku yang berkeluh kesah, lalu mencium pipiku dengan bibirnya yang merah merona berbau surga.
Kalau bukan ia yang menyingkirkan kesedihanku, terus siapa lagi? Dan mengenai ayahku aku tidak tahu siapa lelaki keparat itu. Menurut cerita orang-orang, di waktu usiaku masih sering menangis dan berjalan masih merangkak, ia telah memilih pergi jauh, entah ke mana.
Aku tak peduli apakah ia sudah mati atau masih hidup. Aku begitu membenci lelaki itu, benci sekali, dengan kebencian yang berlipat-lipat. Seharusnya aku takperlu mendengar igauan para tetangga tentang siapa dia sebenarnya. Jika ia masih hidup aku berharap ia segera mati di atas ranjang ketika seorang perempuan pelacur mencicipi dan menyayat-nyayat sekujur tubuhnya yang binal. Biar saja ia mati di tempat tak terurus jadi bangkai paling menjijikkan di seluruh jagad.
Menurutku ia termasuk golongan ayah yang terkutuk karena telah melakukan pendurhakaan pada anaknya. Sekarang ini aku tidak boleh berpikir tentang dia, sesuatu hal yang merusak konsentrasiku, termasuk memikirkan lelaki yang pandai berotorika itu, menjadikan hatiku luluh. Aku tidak tahu, apakah bibirku ingin dikecup oleh lidahnya. Aku takpantas memikirkan percintaan dalam kehidupan getir seperti ini.
Baca Juga: Bagaimana Literasi Memberdayakan Gen Z?
“Miara, gadis yang tidak tahu diri, apa masih ada barang-barangmu yang tinggal?”
Ia tanteku yang jauh. Kehadiranku di rumahnya jadi hujan batu. Setiap hari mereka merasa terpukul dengan kehidupan, ujung-ujungnya aku yang jadi bulan-bulanan mereka di sini. Seorang perempuan bodoh sepertiku, tidak tahu dan sama sekali tidak mengerti cara melawan mereka. Apalagi sampai kepikiran menuntut hakku untuk memenjarakan keparat-keparat itu, mengadu pada pihak yang berwajib atas kelakuan bejat mereka terhadapku.
Aku sering dipukul sampai wajahku memar, kesedihanku yang berlarut-larut terus menumpuk seperti sampah tersusun karena kelakuan mereka. Aku memandang tasku yang kecil, membukanya. Menghitung potongan kain lusuh yang sudah kumasukkan dalam tas itu, takut masih ada yang tertinggal.
“Ini uangmu di jalan,”
Cara ia memperlakukanku seperti ini pertanda sesungguhnya ia telah berbahagia setelah aksinya berhasil mengusirku. Bukan secara halus, transparan. Aku sudah berhati-hati selama tinggal di sini, tapi caraku tetap diplesetkan. Dibilang tidak pandai mengasuh anaknyalah, setelah nyapu dan ngepel lantai masih saja kotor. Kalau sedang membantu mereka di warung dibilang aku tidak bisa mengambil hati pembeli.
Menurutku itu alasan yang keliru untuk mengusirku, tidak tepat sasaran cara mereka memperlakukanku kasar seperti itu. Mereka pandai mengarang cerita ke semua orang, akhirnya aku yang disalahkan.
Baca Juga: Puisi Perjuangan Meraih Mimpi Masa Depan
* * *
Sudah kuduga, tidak satupun mereka yang mau mengantarku ke terminal. Tidak seharusnya kekecewaan yang tak pantas lahir dalam hatiku karena itu. Aku yakin mereka yang aku tinggal merasa merdeka. Aku tidak tahu kepada siapa aku harus berkeluh kesah. Aku sering mengadu pada Tuhan di tengah malam yang sunyi sepi, tapi sepertinya ia diam. Tak mungkin ia memejamkan mata karena tertidur.
Rasa-rasanya tak ada seorang pun yang bisa kuajak cerita di negeri ini. Mungkin setelah aku berkisah mengenai perjalanan hidupku yang menyiksa, semua orang akan menertawaiku, menyebutku berlebih-lebihan. Hanya kepada satu orang itu yang pernah aku cerita tentang kehidupanku yang pahit, itupun pada seorang laki-laki yang tidak kukenal secara keseluruhan. Aku tak pernah bertemu dan menatap wajahnya sekalipun. Tapi rasa-rasanya komunikasi kami lewat FB cocok.
Setelah ia menyebut nama negaranya Portugal, aku terkekeh dan menutup mulut yang tersenyum. Setitik pun awalnya aku tak mempercayai itu. Tapi setelah menelusuri lebih lanjut, benar ia dari negara portugal. Ia sendiri yang meminta pertemanan, setelah melihat poto-potoku di FB.
Tapi kenapa ia bisa berbahasa Indonesia. Adakah Bapak atau Ibunya keturunan dari negeri ini? Aku takpernah menanyakannya. Sekali-sekali ia juga mengirim pesan menggunakan bahasa negerinya kemudian ditranslet ke Bahasa Indonesia, aku tersenyum-senyum mencicipinya.
Sebenarnya berapa sih bahasa yang dikuasainya di dunia ini? Ia tak pernah menjawab. Ketika kutanyakan pendidikannya setinggi apa ia pun terbisu. Ia juga tak pernah bertanya mengenai pendidikanku. Bagaimna kalau ia tahu aku cuma lulusan SMP. Mungkin ia jijik. Berkali-kali aku melacak poto-poto di FB nya, tidak satupun aku menemukan poto seseorang di sana, aku tidak mengenal wajahnya.
Postingannya kalau bukan buku-buku yang tidak aku mengerti bahasanya, pasti poto-poto pemandangan, atau obat-obatan, mungkinkah ia seorang dokter? Aku pun tak tahu, ia tak pernah cerita. Aku pun tak mau lagi menelusuri jejaknya lebih lanjut.
Aku memilih berhenti, karena diam saat kondisi seperti ini lebih baik bagiku. Jika aku terbisu, dia sendiri yang menghidupkan suasana. Tapi ia berbeda dengan cowok di negeriku, begitu saling kirim pesan, mereka pasti bertanya, sudah makan apa belum. Apa kabar sehat atau tidak?
Tapi cowok yang satu ini melempar pertanyaan yang aneh-aneh. Dan tanpa tata kerama, ia langsung tudepoin saja. Beberapa bunyi pesannya seperti ini.
"Kau tahu negaramu itu negara kaya, tapi diisi oleh mereka yang pintar tapi tidak benar?"
Bagaimana mungkin aku bisa menjawabnya secara politik. Aku perempuan bodoh, tidak berpendidikan.
"Aku hanya bisa berdoa pada Tuhan, jika kau membenci mereka para koruptor, semoga Tuhan membunuh mereka tanpa menghilangkan nyawanya," balasku.
“He...he.......kau ini. Namamu siapa sih? Di FB-mu kau tulis gadis sedih. Jangan kasih tahu ya, aku tak membutuhkan namamu, aku hanya butuh kau. He...he.....Bagaimana kalau Tuhan membunuh tanpa menghilangkan nyawanya?"
"Kau tidak perlu tahu, cukup aku dengan Tuhan yang tahu."
Ia bisa membuatku semakin tersenyum. Aku sering menyebut Tuhan dalam keseharianku. Tapi aku sendiri tidak punya agama. Aku yakin Tuhan itu ada, tapi aku tidak tahu agama mana yang benar tentang mendeskripsikan Tuhan. Aku hanya sering menyebut nama Tuhan, dan sering meminta pertolongannya.
"Aku baru berangkat dari rumah, aku diusir. Aku tak tahu ke mana, karena tidak punya siapa-siapa lagi?"
Baca Juga: Cintaku Bertepuk Sebelah Tangan
Aku kirim pesan singkat untuknya sebelum aku benar-benar meninggalkan kenangan di tempat itu. Ia membalas dengan jawaban yang tidak senonoh, membuat sakit hatiku, tapi sebentar saja.
"Bagus tu, sukuri saja, ada orang yang membencimu, sampai ada yang mengusirmu dari rumah. Kalau tidak seperti ini permainan hidupmu, kau yang tegar tidak akan kuat nanti jika menemui kehidupan baru yang lebih pelik lagi."
Aku menggigit bibir, menarik napas penuh emosi, kemudian aku meraba dadaku menenangkannya sampai aku bisa kembali tersenyum sendiri.
Sebuah bus meluncur. Aku menerobos masuk membawa barang bawaanku sepotong tas kecil, duduk tepat di bangku paling belakang.
“Mau ke mana, Dek?” Lelaki itu sengaja melembut-lembutkan suaranya.
Aku tak menggubris. Aku yang bersandar ingin menghempaskan kegelisahanku yang harus terusir dalam diri. Aku sendiri tak tahu ke mana aku harus pergi. Kegetiran hidup ini telah mempermainkanku.
Aku tak tahu harus menabur kebencian pada siapa. Apakah pada mereka di rumah itu yang bekerja sama mengusirku? Atau pada dunia yang kejam, karena telah menggores hatiku setelah ia sayat-sayat sampai aku benar-benar terluka. Atau pada takdir yang sudah menulis perjalanan sedih yang telah kuarungi. Atau haruskah aku benci pada diriku sendiri karena mempunyai seorang Bapak yang mementingkan perut sendiri dan tega menelantarkan anak gadisnya.
Rentetan pertanyaan tumbuh dalam benakku, dan tak satupun ada yang mampu menjawabnya. Aku meneteskan airmata pedih, teringat lagi lelaki itu.
Depri Ajopan, S.S. Lulusan Pesantren Musthafawiah Purba-Baru, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Menyelesaikan S-1 Prodi Sastra Indonesia di UNP. Sudah menulis beberapa karya fiksi dan sudah diterbitkan. Cerpennya pernah dimuat di beberapa media cetak dan online seperti, Singgalang, Riau Pos, Jawa Pos Radar Banyuwangi, Koran Merapi, Pontianak Post, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Langgampustaka.com, tatkala.co, Kurungbuka.com, Labrak.co, LP Maarif NU Jateng, Harian Bhirawa, ayobandung.com, Mbludus.com, g-news.id, Literasi Kalbar.com, dll. Sekarang penulis aktif di Komunitas Suku Seni Riau mengambil bidang sastra.
Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon