Cerpen Putri Oktaviani
Literasikalbar.com – Putri Oktaviani menyajikan cerita romantis yang sedih dengan alur yang memainkan emosi pembaca. Pembaca mengikuti alur seperti masuk ke dalam ceritanya yang nyata dan masuk akal. Pilihan kata yang sederhana dan alur yang mengalir dengan ending yang mengejutkan.
pernikahan anak presiden pic pixabay dot com |
Pernikahan Anak Presiden
"Berita pernikahan anak tunggal Presiden tersaji di setiap saluran televisi. Tapi yang menjadi sorotan utama adalah pengantin wanita yang tak menampilkan seulas senyum pun. Bahkan gosip miring mulai menjamur meski sudah dua pekan pernikahan berlangsung."
Langkah kakiku masuk ke supermarket di tengah malam. Jaket hitam menutup hingga kepala, juga masker agar tak mudah dikenali. Ada sebab aku melakukan itu karena aku adalah tunangan anak presiden. Ceroboh, aku pikir iya.
Aku mengeluarkan uang lima puluh ribu untuk membeli makanan beku. Setelah selesai, aku segera keluar tanpa menunggu lagi. Ini sudah pukul satu malam dan aku tidak ingin berita aneh menyebar keesokan harinya karena paparazzi berhasil menangkapku.
Seseorang yang baru masuk mengacaukan segalanya. Plastikku jatuh dan kami mengambilnya secara bersamaan. Kedua tangan kami saling bersentuhan. Terpaku sebentar, aku menatap kedua netra mata pria yang tak asing. Pria yang pergi meninggalkan luka dalam. Wajahnya masih sama, tapi dia sedikit menumbuhkan bulu tipis di sekitar bibirnya.
“Erlan?” Namanya berhasil lepas dari bibirku.
Erlan langsung menarikku keluar supermarket. Berjalan menuju area parkir hingga belakang bangunan supermarket. Beruntung kondisinya sangat sepi, tidak ada satu pun orang di sana. Dia adalah mantan kekasihku. Ya, hanya mantan yang berhasil pergi empat tahun lalu tanpa kejelasan.
Angin menyapu wajah kami. Kebisuan merayap beberapa waktu. Sampai Erlan akhirnya bicara.
“Aku tidak percaya kamu bisa move on secepat itu. Bahkan kamu berhasil mendapatkan anak presiden sebagai penggantiku.”
Sayatan pisau berhasil membelah hatiku. Apakah dia tahu kalau aku sudah mati rasa. Setengah mati aku mencari kabar dan keberadaannya. Tapi tak ada yang memberitahu, termasuk keluarganya.
Seketika kilasan hari di mana kami putus kembali terputar. Aku menangis kencang di dalam kamar. Sementara Erlan berdiri di depan rumahku. Berbincang dingin dengan ayahku yang merupakan seorang Dokter Spesialis Jantung. Saat itu aku baru saja menyelesaikan Ujian Nasional, dan Erlan berniat untuk membuka hubungan kami yang sudah terjalin selama tiga tahun pada ayahku. Tapi itu tidak semulus ekspektasi kami karena ayah marah besar dan menyuruh kami putus.
Baca Juga: Cintaku Bertepuk Sebelah Tangan
Aku dikurung selama satu minggu ke depan setelahnya. Tidak bertemu Erlan sama sekali. Bahkan dia tak lagi mengunjungiku. Sebenarnya ayahku bukan tipe yang keras. Dia berhati lembut, itulah mengapa aku tidak membayangkan kemarahannya akan sebesar itu.
“Aku hanya ingin kebaikan masa depanmu. Cinta hanya membuatmu lupa akan cita-citamu menjadi Dokter sepertiku,” kata ayah saat aku berusaha membujuknya di malam hari.
“Tapi aku benar-benar mencintainya, Ayah.”
“Menjauhlah darinya atau kamu aku kirim ke Inggris untuk melanjutkan studimu!”
Ancamannya berhasil membuatku bertekuk lutut. Kupikir, daripada menjauh dari Erlan dan berbeda negara darinya, lebih baik aku menuruti perkataan ayah untuk tidak menjalin hubungan dengannya. Setidaknya kami masih bisa menjalin hubungan secara diam-diam. Aku kalah dan masuk ke kamar setelahnya.
Seminggu kemudian, aku kembali terbebas dari rumah dan menemui temanku, Dira. Tentunya ayah masih mewanti-wantiku untuk tidak bertemu apalagi berhubungan lagi dengan Erlan. Aku mematuhinya.
Siapa sangka, kabar Dira membuat hatiku berdarah-darah. Erlan pergi tanpa memberi kabar pada semua teman. Bahkan keluarganya sendiri tidak ingin memberitahu pada kami. Alhasil, aku memutuskan untuk pergi ke rumahnya, memastikan kebenaran informasi Dira.
Orang tuanya tengah duduk santai di teras. Setelah pandangannya bertemu denganku, wajah hangat berubah menjadi sedingin es. Aku tahu, mereka pasti kecewa padaku karena tidak bisa memepertahankan hubungan dengan putra semata wayangnya. Kami tidak menutupi hubungan pada orangtua Erlan. Sebab orang tuanya begitu setuju dan tak sekaku ayahku.
“Bibi, apakah Erlan benar-benar pergi dari kota?”
“Pulanglah, Nadin. Tidak perlu mencari Erlan lagi karena kamu tidak akan melihat wajahnya lagi.”
Meskipun suaranya tenang, tetapi rasa sakit menjadi berkali-kali lipat saat mendengar perkataannya. Wajah datarnya tak bisa menipuku jika ia benar-benar kecewa, marah, dan kesal bersamaan. Ayahnya hanya diam membeku di bangku tanpa ingin berbicara padaku. Padahal dulu kami seperti keluarga. Mereka selalu menyambutku dengan baik tiap kali aku datang ke rumahnya. Bahkan rasanya seperti aku anak kedua mereka.
Aku tidak tahu siapa yang salah di sini. Bukankah pria seharusnya berjuang lebih untuk wanita yang dicintainya? Erlan yang memberitahuku soal itu. Tapi dia sendiri yang menghilang. Padahal aku memiliki rencana baru agar hubungan kami tetap terjalin.
Baca Juga : Literasi Membangun Masa Depan Cerdas
Sentuhan Erlan di pipiku menyadarkanku. Sekarang kondisi kami berbeda. Perkataan Bibi jika aku tak akan melihat wajah Erlan lagi ternyata salah. Kami berhadapan sekarang.
“Bukankah pria akan berjuang lebih besar dibanding wanitanya? Kamu sendiri yang bilang begitu. Tapi lihat, setelah seminggu kita putus, kamu malah pergi entah ke mana.”
“Aku sudah berjuang, Nadin. Kamu yang tidak mau aku perjuangkan, aku tahu kamu memilih untuk menuruti ayahmu.”
“Aku menolak permintaan ayah untuk kuliah di Inggris demi bisa berdekatan denganmu!” Intonasiku meninggi.
“Aish! Sulit dijelaskan. Aku pergi ke rumah sakit ayahmu bekerja selama enam hari berturut-turut setelah kita putus. Kamu menerima suratku?”
Surat? Enam hari dia pergi menemui Ayah? Kebenaran atau kebohongan yang dia bicarakan? Aku tak pernah tahu informasi semacam itu dari Ayah.
Dengan polos, aku menggeleng pelan. “Tidak, Ayah tidak memberitahuku jika kamu datang menemuinya.”
Dengan gerakan cepat, Erlan menarik tanganku dan berjalan ke motornya. “Aku akan ceritakan semuanya di perjalanan pulangmu,” katanya sambil menaiki motor.
Embusan angin malam menabrak wajah kami sepanjang perjalanan. Meskipun aku masih memakai masker, dinginnnya tak tertahankan. Aku memasang telinga kuat-kuat, mendengar semua ceritanya. Bagaimana Erlan secara konsisten datang menemui ayah tiap jam makan siang. Ia membawa sebuket bunga mawar yang hendak ia berikan untukku melalui ayah. Dia meyakinkan masa depan kami pada ayah, tetapi ayah menghiraukannya meski Erlan diizinkan masuk ke ruang kerjanya.
Baca Juga : Puisi Perjuangan Meraih Mimpi Masa Depan
Hari kedua Erlan masih datang dengan membawa bunga dan coklat, begitu terus hingga hari kelima. Akan tetapi, pada hari keenam, dia tidak lagi membawa bunga ataupun coklat seperti biasa. Melainkan sebuah amplop putih berisikan surat yang seharusnya tersampaikan padaku. Tapi surat itu tak pernah mendarat di tanganku hingga saat ini.
“Itulah kenapa kamu tidak datang ketika aku akan pergi. Aku menulis di surat itu, jika kamu ingin aku bertahan dengan hubungan kita, datanglah menemuiku di rumah pada hari ketujuh kita putus. Malam itu kamu tidak hadir, jadi aku pergi ke Jogja untuk melanjutkan studi,” katanya sedikit frustrasi.
“Aku berpikir, kamu tidak ingin mempertahankan hubungan kita lagi.”
Erlan menghentikkan motornya. Kami sudah sampai di halaman rumahku yang juga amat sepi. Tidak ada penjagaan berlebih karena pernikahanku berlangsung tiga bulan lagi. Kenyataan memang sangat pahit. Seolah takdir tak ingin dua manusia saling cinta bersatu.
“Mari buktikan kebenaran ceritamu!” ajakku menarik tangannya. Berniat untuk mempertemukan Erlan pada ayah yang kuyakin sudah terlelap.
Tak sulit mempertemukan keduanya, karena ayah terkejut melihat pria yang kucinta datang lagi ke rumah. Mataku berair melihat keduanya bertemu. Dengan aku yang berdiri di sisi ayah.
“Kamu sudah mendengar ceritanya?” tanya ayah melirikku.
“Sudah, Ayah. Sekarang kamu katakan, apakah itu adalah kebohongannya atau kamu yang membohongiku?” tanyaku gemetar.
“Dia benar. Dia tidak berbohong,” jawab ayah cepat, mengaku salah. Tanpa ingin melanjutkan, dia kembali masuk ke rumah.
Setelah kepergian Ayah, Erlan meraih kedua tanganku.
“Lalu sekarang bagaimana? Kamu akan tetap menikah dengan anak Presiden itu?” Setitik harapan tampak di bola mata coklatnya.
***
Berita pernikahan anak tunggal Presiden tersaji di setiap saluran televisi. Tapi yang menjadi sorotan utama adalah pengantin wanita yang tak menampilkan seulas senyum pun. Bahkan gosip miring mulai menjamur meski sudah dua pekan pernikahan berlangsung.
~ end ~
Putri Oktaviani seorang penggiat literasi sejak Tahun 2020 Alumnus Akuntansi, Perguruan Tinggi Swasta. Novel-novelnya terbit ekslusif di platform digital. Cerpennya tersebar di beberapa media seperti; Literasi Kalbar, Takanta, Marewai, Cerpen Sastra. Peminat fiksi genre thriller dan misteri. Kenal lebih dekat di instagram @putri.oktavn atau email : putrioktaviani867@gmail.com
Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon