literasikalbar.com – Sajak Joni Hendri memaparkan kehidupan yang dirasakan manusia saat ini. Dari berbagai sisi dan ranah penulis sehingga puisi yang disajikan tidak monoton.
Sajak Joni Hendri dan Meninggalkan Pelabuhan Agama Pic pixabay |
Sajak Joni Hendri dan Meninggalkan Pelabuhan Agama
“Aku terlalu lalai Tuhan.”
Perebutan Mimbar
“Apakah Penceramah?
Apakah pemangsa?”
Aroma mimbar tidak menjadi aroma iman
seperti memangsa agama
padahal maut pelan-pelan mengintip
siapa yang paling benar?
Masa lalu kitab
dan anak-anak lahir tanpa petunjuk
hanya simbol perseteruan diazankan
tak menyadari mata langit terus melihat
semacam rekaman yang tak padam.
Yang merebut adalah mereka-mereka berjubah
terlempar segala kesombongan
dari lubang atap yang sama
segalanya sujud.
“Siapa yang paling luka?
Apakah penceramah?
Atau pemangsa?”
Pekanbaru, 2021
***
Camera Kehidupan
Memotret di celah luka-luka
estetika dosa dari tubuh yang indah
melihat dengan mata
dari tangkapan buruk yang menjangkit
seumpama wajah yang sakit.
Ada satu perangkat terbuat dari kertas
objek melintas di tikungan yang berlipat-lipat
aku memburu dengan kaki yang cepat
membawa jiwa dalam kegelapan.
Maka camera tak terbatas
menginginkan sesuatu yang muncul
memukau pada kematian eksis
sebelum fitur aplikasi tertinggal dari catatan?
Pekanbaru, 2021
***
Listrik Para Wali
Kabel menyerupai urat-urat tauhid
sepasang darah sedang berjalan dan berzikir
mengenang di setiap sudut sel-sel tubuh
disentrum ayat-ayat iman.
Musim mendinginkan,
bulu-bulu menahan sisi lahiriah
kemah-kemah sepi dari zikir
mulut tak basah untuk meminta surga
segera tertidur, seusai tercerca di dunia fisik.
Kemana hati?
Listrik wali-wali sangat bersahabat
menyuarakan: “Husnuzhan pada-Nya”
memuliakan lorong taqwa ke setiap masa
di titik penuh cinta.
Rumah Agama bercahaya?
Setelah identitas memiliki jalan panjang
jeritan api memangil-manggil
hingga magrib dan subuh.
Pekanbaru, 2021
***
Meninggalkan Pelabuhan Agama
Jauh hanyut,
meninggalkan pelabuhan, kita saling melihat pada agama
tak mengawasi dari pucat pasi iman.
Tapi jangan masukan kata dosa di sana
sebelum jemari menggigil.
Huruf-haruf mengalir, tanpa gelombang suara
tanpa sampan dan pengayuh untuk membaca
di gebang Masjid, diam-diam mencuri langkah untuk pulang
melewati gelap menjauhi suara-suara azan magrib
pada jam-jam mati.
Kenangan leluhur di dinding dan jalan surga
menggambarkan peristiwa di mata, saat luapan elektronik
membentuk air pasang
bahkan menjadi tenggelam pada sejarah.
Ayat-ayat basah oleh air, yang datang dari sinyal
terkikis hati untuk membacanya
sebab, Laptop sudah menggenggam kuasa pada mata
menghanyutkan kita di tanjung sunyi untuk bersemedi.
Jauh hanyut, dari pelabuhan agama
gagal berlabuh, sebab taqwa mati
dan waktu berhenti dalam sekian ribu
Pekanbaru, 2021
***
Makam Mengapung di Laut
:Syekh Abdullah Mudzakir
Seribu sembilan ratus lima puluh
Demak mencatat sejarah di tepi laut
selama delapan puluh satu tahun menanam ribuan cinta
tentang makna Agama untuk menumpas segala derita.
Sebuah makam yang timbul
pada pasang siang, saat laut bergelombang
menghantam sunyi pesisir yang tenggelam di luasnya
mengapungkan keluarga bersama kain kafan
serpihan-serpihan tanah pantai yang setia di dinding kusam
para penziarah melihat petani tambak pada catatan usang
yang lahir di Dusun Tambaksari
tak ada lagi tanah setelah dihapus banjir.
Di pantai Sayung,
doadoa bersuara tak habis-habis dikikis
bunyi gesekan air laut mengiringi kaki yang melangkah
melewati jalan panjang sebelum pantai
barangkali bayang surganya.
Ilmu abadi mengalir,
memeluk peradaban dalam riwayat
senyum kekal tak henti dari wajah cicit
memayungi lipatan-lipatan karomah
sebelum semesta berakhir.
Pekanbaru, 2021
***
Hutan
Sumpah-serapah merawat kondisi
nyawa pergi menemui puisi terakhir
menjadi hutan yang tumbuh ribuan tahu
bertabrakan di bawah langit setelah hujan
kesalehan di ujung pulau Sumatra
mengunci kemurkaan alam
menunggangi kereta bersimbol: “Ateisme”
Fatamorgana bermain darah yang keluar dari leher.
Hutan-hutan gundul,
limpahan cahaya bersenang hati
terik matahari kenyang, memakan hingga kering
gunung bakal hilang dari letusan
jari-jari keparat itu besenang-senang
sebelum obat-obat menghujaninya.
“Siapa pemotong?” Tanyaku.
Sepi!
Pekanbaru, 2021
***
Waktu
Air menitik berbau pandan
harumnya tersisa sampai malam Ahad
tak berhenti mengikat hidung
segala tercium
sebelum dibawa ke tepi pohon
dan kuburan.
Tangan akan kaku seperti pintu
lalu melahirkan kata-kata jujur
bekas perbutan mulut, hati beserta kaki.
Waktu sudah tuntas di dunia!
Pekanbaru, 2021
***
Peristiwa Pandemi
“Masa depan,
apakah itu pendidikan?”
Setelah menyodorkan pertanyaan
matahari dalam kepala hilang bentuk
langit menghitamkan dalam mata
sebuah siang, bangku-bangku Sekolah patah
hanya sisa-sisa dongeng usang memotret
dan menjadi harapan.
Mari susuri tanjakan waktu
di antara bukit-bukit virus
ke arah pohon yang berbuah misteri
peristiwa-peristiwa pandemi tumbuh di bawahnya.
Gunung-gunung kedinginan
tempat para dokter mencari obat penawar
tanah hanya tempat galian mayat
lalu mengatur sesuatu yang tidak masuk akal
sambil merelakan dan menertawakan maut
sebagai sorotan sejarah manusia.
“Di mana masa depan pendidikan?”
Pekanbaru, 2021
***
Memori Kehidupan
Kehilangan bentuk dalam telaga api
ujung rambut sampai kaki terbakar
bulu-bulu yang lain jadi abu
airmata jadi nanah membanjiri tubuh
tenggelam dalam sungai kekesalan.
Di jembatan ia berbunyi:
“Aku terlalu lalai Tuhan.”
Yang mendekat,
menghukum segala perbuatan
pisau senantiasa tajam mengiris diri sendiri
sebagai tanda akhir dari kehidupan.
Tumbuhkan memori,
kita telah lupa pada jebakan
tamak perbuatan menyimpan kekeringan
gema kecamuk dalam bulatan kepala.
Pekanbaru, 2021
Joni Hendri, Amd. Sn., S.S kelahiran Teluk Dalam, 12 Agustus 1993. Pelalawan. Alumnus AKMR Jurusan Teater. Dan juga alumni UNILAK Jurusan Sastra Indonesia. Karya-karya berupa naskah Drama, Essai, Cerpen, dan Puisi. Sudah dimaut di beberapa antologi dan media seperti: Kompas id, Riau pos, Solo Pos, Medan Pos, Radar Bayuwangi, NusaBali, Tanjung Pinang Pos, Pontianak Pos, Sulawesi Tengah, Bali Pos, Singgalang, Bhirawa dan media online lainya. Bergiat di Rumah kreatif Suku Seni Riau dan bergiat di Komite Teater Dewan Kesenian Kota Pekanbaru (DKKP). Sekarang mengajar di SD Negeri 153 Pekanbaru.
Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon