Cerpen E. Widiantoro
literasikalbar.com - E. Widiantoro mengajak pembaca untuk memahami suatu kondisi yang sebenarnya terjadi. Pembaca diajak untuk tidak sekadar menilai sesuatu yang tampak, tetapi mencari tau apa alasan (latar belakang).
Resign Cerpen E. Widiantoro pic pixabay |
Resign
Aku benar-benar harus mengakhiri riwayat bekerja di hotel ini ketika menyaksikan jenazah seorang kakek terbujur kaku tanpa busana di tempat tidur dalam sebuah kamar. Ia mengembuskan napas terakhir ketika sedang bersama perempuan yang berteriak histeris meminta tolong di line telepon customer service.
Tujuh tahun! Ya, tujuh tahun aku bekerja di hotel, menjadi tenaga house keeping. Masuk pukul lima sore, pulang pukul lima pagi. Entah telah berapa banyak kisah dari para tamu yang menginap.
Pernah ada pasangan tamu check out pukul empat lewat di lantai tiga. Si lelaki paruh baya, ada banyak uban di kepala. Si perempuan masih muda. Rok pendek. Belahan dada terbuka berjalan sempoyongan digandeng si lelaki. Mungkin ia masih ngantuk atau sedang mabuk.
Mereka keluar, aku segera masuk kamar. Sprei berantakan. Pendingin udara tetap menyala. Televisi LED empat belas inc sedang memutar ulang sinetron lawas yang pernah tenar di tahun dua ribu. Cepat tanganku bergerak hendak mengganti sprei baru. Hampir saja kakiku menginjak alat kontrasepsi bekas pakai dibuang sembarangan di lantai, cairan putih kental baunya khas.
Kutarik sprei, ada benda yang turut bergerak muncul dari balik lipatan. Kain tipis segitiga berenda warna merah muda milik perempuan. Pintu kamar hotel yang terbuka sedikit diketuk seseorang. Belum sempat kupersilakan masuk sesosok perempuan langsung nyelonong. Sepasang matanya yang sayu menebar pandang ke seluruh sudut ruang lalu ke permukaan tempat tidur seperti mencari-cari sesuatu.
"Mbak mencari ini?" Aku menunjukkan kain tipis segitiga berenda warna merah muda. Tanpa ba bi bu cepat diraihnya benda itu dari tanganku lalu bergegas keluar kamar. Ketika adegan itu berlangsung kudengar azan subuh berkumandang dari kejauhan. Aku tenang saja. Terus bekerja.
Cerpen Musim Ngayau
Bulan kemarin aku di lantai tujuh. Hendak mengemaskan kamar setelah tamu barusan check out. Melewati sebuah kamar kudengar perempuan menangis. Kuhentikan langkah. Memasang telinga. Menahan napas. Ya, jelas! Memang ada perempuan sedang menangis. Lama-lama tangisnya makin keras. Kudekati kamar.
“Permisi. Ada orang di dalam?” Kuketuk-ketuk pintu. Suara tangis semakin keras. “Hallo...?! Hallloooo....?!”
Tangis mereda berganti suara perempuan.
“Masuklah!”
Aku masuk ke kamar. Seorang perempuan berambut panjang duduk di pinggir tempat tidur. Masih muda benar. Usia SMA kukira. Wajahnya yang basah diusap dengan jaket jeans biru.
Kutebar pandang ke sekeliling. Tak ada yang aneh, pikirku. Kenapa ia menangis? Belum sempat terlontar pertanyaan itu dari mulutku, telah kulihat cairan merah yang mengotori sprei putih. Di dekat cairan merah seukuran telunjuk orang dewasa ada belasan lembar uang kertas merah bergambar dua orang.
“Aku telah berdosa, Bang. Tadi aku ikut om-om ke sini. Bapakku sedang sakit butuh uang untuk berobat,” katanya pelan. Wajahnya keruh menyiratkan kesedihan mendalam.
“Sekarang pulanglah,” Aku melangkah begitu saja hendak mengemaskan kamar lain yang barusan ditinggal tamu check out.
“Aku tak tahu jalan pulang,” katanya menahan langkahku.
“Di mana rumahmu?”
“Siantan, Gang Widi nomor sebelas.”
Kuambil ponsel. Membuka aplikasi ojek on line.
“Turunlah,” kataku memasukkan ponsel ke saku celana. “Aku telah memesan ojek untuk kau pulang. Bilang saja Nuh.”
“Nuh?” Ia mengerutkan dahi.
“Namaku Nuh.”
“Terima kasih, Bang Nuh.” katanya mengenakan jaket jeans berjalan pelan dan canggung, meringis seperti sedang menahan sakit. Aku keluar kamar, azan Isya berkumandang di kejauhan. Aku tetap saja bekerja.
***
Cerpen Kepala Terbang
Tiga hari kemudian, aku benar-benar harus mengakhiri riwayat bekerja di hotel ini ketika menyaksikan jenazah seorang kakek terbujur kaku tanpa busana di tempat tidur dalam sebuah kamar. Ia mengembuskan napas terakhir ketika sedang bersama perempuan yang berteriak histeris meminta tolong di line telepon customer service.
Kebetulan aku sedang berada dekat meja resepsionis menerima teleponnya karena teman yang stand by sedang ke toilet. Kupanggil petugas security yang berjaga, buru-buru kami ke lantai tiga tempat terjadinya peristiwa. Kuketuk pintu kamar langsung dibuka perempuan gemoy, cantik dan wangi. Wajahnya pucat.
“Kita belum ngapa-ngapain, Mas. Sumpah! Aku baru buka pakaian terus kita pemanasan dikit tetapi bapak nih udah telanjur modar!” katanya panik. Ketakutan. Lagi-lagi kudengar kumandang azan Subuh di kejauhan.
Aku resah. Balik badan, bergegas keluar kamar. Kematian datang tiba-tiba kepada setiap orang tanpa memandang waktu, tempat dan usia. Bisa kapan saja, di mana saja dan usia berapa. Kelak aku sendiri gimana? Aku mati dalam keadaan seperti apa? Berapa banyak bekal yang telah kupersiapkan untuk menghadapi kematian. Bukankah selama ini aku...! Ya, Tuhan...!
Aku geleng-geleng kepala, melangkah turun ke lantai dasar menuju musala. Salat. Mengingat Tuhan sepenuhnya. Pukul lima sebelum pulang ke rumah, kutulis sepucuk surat untuk pihak manajemen hotel. Perihal singkat; resign. Kutitipkan surat bertulis tangan itu ke costumer service, berharap diteruskan ke pihak manajemen.
Aku pulang. Sampai rumah di Tanjung Nipah, aku bergegas mandi lantas bersiap hendak tidur.
Selalu begitu setiap pulang kerja. Maklum aku masuk pukul lima sore, pulang pukul lima pagi. Tak ada waktu untuk tidur. Tak pula aku salat padahal sebenarnya bisa. Ke mana aku ketika tiba waktu Magrib, Isya dan Subuh? Aku tak hadir di musalla, selalu saja memilih bekerja.
Tak bisa lagi kutahan kantuk. Sebelum benar-benar terlelap kudengar nuraniku bicara; “Jika ada sesuatu dalam hidup yang menjauhkan diri dari Tuhan, lepaskan. Tinggalkan!”
Aku semakin mantap untuk resign!
Pontianak, 27 Oktober 2021
***
Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon