Cerpen Muhammad Noor Fadillah
literasikalbar.com - Muhammad Noor Fadillah menuangkan isu yang berkembang di masyarakat menjadi sebuah cerita yang seolah nyata adanya. Cerita-cerita yang dirangkai Muhammad Noor Fadillah seolah mengerikan dan menakutkan bagi pembaca.
|
Musim Ngayau
"Perkataan ayah barusan bahkan membuatku merinding. Ingin aku mengatakan bahwa sebenarnya bukan hanya ayah saja yang mendapat desas desus mengerikan semacam itu. Akupun demikian. Tapi kali ini aku tak punya pilihan."
Sekali lagi kutegaskan, tidak ada bukti nyata dan jelas yang menunjukkan bahwa kabar keberadaan ngayau yang memburu kepala manusia itu benar adanya. Semua informasi yang kudapat selama ini hanyalah dari orang-orang yang sedang nongkrong di warung kopi. Itupun sumber beritanya dari ujar bin ujar. Mana mungkin bisa dipercaya.
Dari kabar yang mereka dapat, memang ada yang mengatakan bahwa di suatu tempat yang masih tak jelas di mana, sekelompok orang menemukan sebuah karung yang larut di sungai kemudian tersangkut di pondasi rumah warga. Dari situ tercium bau busuk yang sangat menyengat. Merasa terganggu, warga berinisatif mengambil karung yang diduga menyimpan bangkai itu. Ketika dibuka, betapa terkejutnya mereka saat mendapati di dalamnya ada mayat tanpa kepala.
Keadaan mayat sangat mengenaskan dengan darah berlumuran. Diduga kuat karena dibunuh dan kepalanya diambil ngayau. Di dalam karung itu juga terdapat kantong plastik berwarna hitam yang terikat kuat. Ketika kantong plastik itu dibuka ternyata berisi uang sangat banyak, kira-kira sekitar dua puluh jutaan. Ada yang mengatakan kalau uang itu sebagai pengganti kepala yang dipenggal.
Ada juga yang mengatakan bahwa beberapa orang pernah melihat ngayau secara langsung. Digambarkan, ngayau memakai penutup wajah, membawa parang yang berlumuran darah dan juga karung usang di tangannya untuk membawa kepala manusia yang ia penggal. Tubuhnya besar dan tinggi.
Di balik peristiwa itu, yang jelas semua masih sebatas kabar burung yang datang dari mulut ke mulut. Pembunuhan harusnya menjadi berita besar dan akan ditangani serius oleh aparat penegak hukum jika memang benar adanya. Tapi sampai sekarang tak ada rilis resmi dari aparat. Demikian pula koran-koran tak ada satu pun memberitakannya. Karena itu, aku tak bisa percaya begitu saja. Bagiku sekarang, ketakutan yang paling besar adalah jika aku tak bisa menafkahi keluarga.
Sudah hampir tiga bulan ini aku menjadi pengangguran. Setelah sempat bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan kelapa sawit, aku di-PHK. Tidak tahu apa penyebabnya. Aku tidak sendirian. Puluhan orang lainnya juga mengalami nasib yang sama. Kami terpaksa menerima. Melancarkan protes hanya akan menambah masalah baru.
Aku termasuk orang beruntung. Sehari setelah aku sampai di daerah ini, aku langsung mendatangi rumah teman lamaku yang kebetulan menawarkan pekerjaan tak lama setelah aku di-PHK. Aku berharap pekerjaan ini bisa menyelamatkanku dari kesulitan ekonomi. Kasihan anak dan istriku kalau aku betah berlama-lama tak punya duit.
Imul, nama temanku itu, lalu menceritakan tentang pekerjaan yang harus aku lakukan. Dari ceritanya, pekerjaan itu tak terlalu sulit. Meski bukan kerja kantoran, namun tak masalah bagiku. Besok aku sudah bisa masuk kerja. Ini berita bagus untuk keluarga kecilku di rumah.
Mengenai keberadaan ngayau, aku tidak mau membicarakannya. Aku khawatir jika Imul yang merupakan warga asli daerah ini justru punya cerita yang lebih mengerikan. Itu hanya akan membuatku takut. Lagipula aku sudah bertekad untuk bekerja apapun yang terjadi.
Sebelum sampai di sini, ayah dan ibuku awalnya tak memberi izin. Penyebabnya tentu saja karena isu ngayau berkeliaran yang membuat mereka amat khawatir.
“Madi, kamu masih di Pandahanan kan?” suara ayah terdengar tergesa-gesa di ujung sana.
“Benar, Yah. Ada apa?” aku penasaran. Hal ini tidak biasanya. Bahkan ayah lupa mengucapkan salam.
“Ayah baru dengar kalau belakangan ini tersebar berita tentang adanya….nga…ga…ngg…nga…ya…” ayah terdengar seperti berpikir keras untuk mengingat dan mengucapkan sesuatu.
“Ngayau maksud Ayah?” tebakku spontan.
“Nah iya itu. Kamu sudah mendengarkah Madi ?” lagi-lagi suara ayah tergesa-gesa.
“Sudah Yah. Tapi beritanya dari orang-orang di warung saja.”
Terdengar hembusan napas. “Baguslah. Sebaiknya kamu batalkan niat kamu bertolak ke Muara Banyuan. Di sana sepertinya sedang tidak aman. Tunggu jembatan baru di sana selesai, barulah kamu boleh pergi. Terserah mau bekerja apa,” ayah menasihati. Dari suaranya nampak ada kekhawatiran mendalam.
Aku mencoba berbicara dengan ayah. Berusaha menenangkannya. “Yah. Berita itu tidak benar. Itu hanya kabar burung. Lagian mana ada orang yang tega memenggal kepala manusia hanya untuk sesembahan penunggu sungai agar jembatan bisa berdiri. Itu tidak masuk akal dan juga melanggar hukum.”
“Ah kamu ini Madi. Kamu harus ingat, Muara Banyuan itu masih daerah terpencil. Hal-hal semacam itu bisa saja terjadi. Kamu jangan meremehkan kabar ini. Ayah banyak dapat kabar kalau sudah beberapa kali ditemukan mayat tak berkepala. Itu pasti ulah ngayau.”
Aku terdiam sambil meneguk liur. Perkataan ayah barusan bahkan membuatku merinding. Ingin aku mengatakan bahwa sebenarnya bukan hanya ayah saja yang mendapat desas desus mengerikan semacam itu. Akupun demikian. Tapi kali ini aku tak punya pilihan.
“Yah. Madi sangat perlu pekerjaan. Kalau menunggu kabar itu hilang atau menunggu jembatan selesai, akan memakan waktu yang lama Yah. Anak istri Madi mau makan apa?”
“Iya Madi, tapi…”
Kalimat ayah belum selesai. Aku langsung memotongnya.
“Yah, Madi ini sudah besar. Pasti bisa menjaga diri. Di sana Madi juga punya banyak teman. Sekarang Madi sudah punya tanggungan. Madi adalah kepala rumah tangga sehingga harus bertanggungjawab. Percaya dengan Madi, Yah.”
Beberapa saat tak ada suara dari ujung sana.
“Kamu yakin Madi?” tanya ayah pelan.
“Yakin Yah. Insya Allah semua akan baik-baik saja,” jawabku mantap meyakinkan ayah.
“Ayah sebenarnya hanya tak ingin kamu kenapa-kenapa. Tapi kalau itu keputusanmu, Ayah dan Ibu hanya bisa mendoakan saja,” suara ayah terdengar berat. Tak lama, sambungan telepon berakhir.
***
Matahari belum terlalu terik. Puluhan pekerja berhelm terlihat sibuk berlalu lalang. Kendaraan-kendaraan berat sudah beroperasi sejak tadi. Ada yang mengangkat balok-balok besar, kerangka besi dan baja, hingga mengaduk campuran pasir dan semen.
Imul membawaku ke suatu tempat. Agak jauh dari tempat awal aku berdiri. Beberapa kali aku bergidik ngeri ketika berada di sana tadi. Itu adalah proyek pembangunan jembatan yang selama ini diisukan membutuhkan tumbal kepala manusia agar bisa berdiri kokoh. Seandainya ayah dan ibu tahu aku berada di sini, pasti akan marah sekali. Aku terpaksa berbohong mengenai pekerjaanku ini agar mereka tak khawatir. Tapi dari pengamatanku, rasanya memang tidak ada hal aneh yang terjadi. Ini semakin membuatku yakin bahwa keberadaan ngayau hanyalah mitos. Atau kalau mau, lebih cocok jadi cerita rakyat.
Di dalam truk yang baru datang itu, kulihat banyak karung terikat berwarna kusam. Inilah pekerjaanku, mengangkat semua karung menuju tempat penampungan.
“Jangan lupa dengan semua peraturan di sini, Di. Kalau dilanggar, kamu bisa dalam bahaya,” Imul mengingatkanku ketika aku langsung menuju karung-karung itu untuk mengangkatnya.
Aku menutup sebagian wajah dengan masker beberapa lapis. Imul sudah memberitahuku kalau karung-karung itu mengeluarkan bau yang amat busuk. Karena itu tak banyak pekerja yang betah. Imul mengatakan kalau karung-karung itu berisi campuran bahan tertentu yang dirahasiakan. Fungsinya agar jembatan bisa kokoh berpuluh-puluh tahun lamanya.
Aku beristirahat sejenak setelah semua karung telah aku pindahkan ke tempatnya. Sembari meluruskan kaki, aku bersandar di bawah pohon. Sungai besar mengalir di depanku dengan lalu lalang kapal yang membawa penumpang menuju daerah tetangga. Ketika melewati jembatan, sontak kepala mereka mendongak. Anak-anak kecil bahkan melambaikan tangannya ke arah para pekerja jembatan di atas sana.
Istirahatku tak berlangsung lama. Bau busuk itulah yang membuatku tak betah berlama-lama di sini. Aku tak habis pikir apa sebenarnya isi karung itu sehingga baunya seperti bangkai.
Merasa penasaran, aku kembali mendekati karung-karung itu. Imul entah ada di mana. Mungkin ini kesempatanku. Setelah memastikan bahwa tidak ada orang yang melihat, aku membuka perlahan tali yang mengikat karung itu.
Karung mulai terbuka. Baunya semakin menjadi-jadi. Aku hampir tak tahan dan sontak menjauh beberapa langkah. Tanganku semaksimal mungkin menutup hidung. Aku pasang masker beberapa lapis lagi dan kembali mendekat. Ah, baunya luar biasa busuk sampai-sampai aku merasa mau muntah bahkan pingsan. Tapi aku tetap ngotot untuk mengetahui isi karung ini mumpung suasana sepi. Semua yang aku rasakan sekarang malah membuatku tambah penasaran.
Karung itu akhirnya benar-benar terbuka. Tapi tak jelas apa isinya. Seperti hanya berisi gumpalan rambut. Tiba-tiba saja kepalaku terasa sakit sekali dan pandanganku menjadi buram. Sepertinya aku keracunan bau busuk.
Cerpen Pelet Borneo
***
Entah sudah berapa lama lelaki berbaju putih dan bertelanjang kaki itu diam mematung di pinggir jembatan. Matanya mengarah ke bawah, melihat beberapa kapal tongkang yang membawa gunungan batubara berlalu lalang. Sesekali ia mengarahkan pandang ke muda mudi yang sedang memadu kasih, tak jauh darinya.
Semakin sore jembatan semakin ramai. Wajar jika jembatan itu didatangi banyak orang. Itu adalah jembatan besar dan megah pertama yang ada di sana. Sebelum adanya jembatan, masyarakat harus menggunakan kapal jika ingin menyeberang. Karenanya jembatan itu sangat ditunggu-tunggu.
Lelaki itu menengok kiri kanannya. Suasana saat ini sedikit tenang. Motor dan mobil belum melintas cepat seperti tadi. Kesempatan ini rupanya tak mau ia sia-siakan. Segera ia menyeberang entah mau kemana.
Saat di tengah jembatan, tanpa disadari tiba-tiba sebuah mobil sedan melintas cepat menuju ke arah lelaki itu. Tentu saja lelaki itu terkejut setengah mati. Kakinya mendadak berat untuk digerakkan. Celakanya, mobil itu terus melaju seolah tak melihat seorang lelaki yang jelas-jelas berdiri di depannya. Mobil itu makin dekat dan ia tak dapat lagi menghindar.
Matanya kembali terbuka ketika tadi ia tutup rapat karena merasa tak sanggup jika harus melihat tubuhnya yang terpental atau bersimbah darah. Sedikit buram, tapi tak berlangsung lama. Lelaki itu memberanikan diri untuk memeriksa keadaan tubuhnya yang semakin tak berasa. Tapi lelaki itu amat terkejut ketika tahu tubuhnya tak terluka sedikitpun. Lelaki itu bahkan masih berdiri di posisi awal. Sementara mobil sedan itu sudah jauh meninggalkannya.
Lelaki itu sangat heran dengan apa yang terjadi. Namun belum habis ia berpikir, tiba-tiba dari arah belakang lagi-lagi sebuah mobil melaju kencang. Dengan tubuh yang masih gemetar membuatnya tak bisa lagi menghindar. Lelaki itu hanya bisa berdiri mematung menyaksikan detik-detik tubuhnya yang akan ditabrak.
Benar saja. Lelaki itu dengan jelas melihat tubuhnya ditabrak. Tapi anehnya, justru lelaki itu tak merasakan apapun sama seperti tadi. Ajaib, mobil itu ternyata bisa melintasi tubuhnya. Seperti hantu saja.
***
Muhammad Noor Fadillah Lahir di Martapura, 24 Juni 1998. Tinggal di Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Sekarang sedang menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Penyuka sastra. Aktif di Komunitas Pembatas Buku Jakarta (KPBJ). Telah menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul “Surat dari Saranjana” (2019) dan “Hilangnya Kubah Masjid” (2020). Beberapa cerpennya tersebar di media massa dan media online. IG: @munof_
Berkaitan dengan isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis. Literasi Kalbar sebagai wadah kreativitas berliterasi baca tulis.
Laman Literasi Kalbar menerima tulisan berupa puisi, cerpen, resensi, & opini. Silakan kirim ke literasikalbar@gmail.com
Ketentuan tulisan bisa baca di Kirim Tulisan
Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon