Literasikalbar.com - Ratih Wahyuningsih menaburkan citraan pada sajak yang indah. Pembaca seolah melihat, mendengar, dan merasakan peristiwa tiap larik yang disajikan. Selain citraan, sajak terasa kuat dalam mendedahkan emosi.
Puisi Ratih Wahyuningsih dari Senja di Bukit Cinta pic pixabay |
Sajak Ratih Wahyuningsih dari Senja di Bukit Cinta
"Duhai kekasih hati, berjanjilah untuk kembali. Taklukan badai gelombang ganas menerjang"
Petaka Asmara
Semburat fajar memerah darah
Hari masih sangat pagi
Embun menitik bening di ujung daun
Bunga kecil menggigil menahan hawa dingin
Hujan tlah lama reda
Meski derai gerimis masih tampak
Dingin menelusuk jauh menembus kulit
Isak Bunga kecil kian membukit
Sungguh malang nasib Si Bunga
Terpekur sendiri tiada orang tua
Gadis sekecil bunga, dirundung lara
Cinta ayah tak ada
Dekap manja bunda pun tiada
Dimanakah ayah bunda berada?
Kala rembulan merah baru saja datang,
Faizah berlari kencang menghilang
Badrun mengejar, nanar menghunus kelewang panjang
Sumpah serapah membabi buta gelapkan mata
Sosok jasad perjaka muda melintang mandikan darah
Bunga berlari menjerit melolong di gelap malam
Tubuh kecilnya terperosok ke dalam lubang
Seribu kelip bintang meremang lalu gelap menghilang
Bunga kaku sendiri diguyur derasnya hujan
Bunga kecil bangkit terhuyung mengiba mengeja nama
“Maaaaaaaaak, Bapaaak, kalian dimana?
“Pak Lee Karsa tolong Bunga!
Bunga terisak di balik rimbun semak
Gubuk kecil beratap rumbia tinggal cerita
Amuk badai amarah hancurkan semua
Asmara lara tuai petaka
Bekasi : 24.01.20
***
Senja di Bukit Cinta
Matahari sore belumlah karam
Cahayanya masih terik sampai di tebing curam
Jelajahi ngarai hingga kaki bukit terjal
Matahari kian memerah menyudahi senja
Pendar cakrawala bersaput bilur keemasan
Langit memutih abu perlahan menuju malam
Berarak serupa gerombolan domba
Riuh beriring hendak pulang kandang
Gadis manis bermata sendu beringsut mencengkram kain
Menapak jalan setapak di lereng bukit
Menggendong bakul menjinjing ceret
Kebaya lusuh membungkus kulit
Selendang panjang penutup rambut
Kaki putih mulus penuh berlumpur
Telanjang kaki di antara hijau rimbun padi
Sang pemuda gagah menggiring memanggul cangkul
Kaos oblong kusam membalut tubuh
Pangsi hitam setengah lutut
Wajah lelah berkeringat kening berkerut
Topi caping lebar menutup
Lasmita si gadis Dusun Parung
Paras jelita berhidung mancung
Disunting Paijo perjaka rupawan
Dewa dewi dusun bersanding
Aduhan sungguh menawan
Demikianlah cinta terangkai begitu indah
Mengurai kisah dalam pekat lumpur sawah
Jauh dari gemerlap kilap lampu kota
Abadilah cinta indah sepanjang masa.
Matahari tinggal sepenggal
Alam sunyi menyambut maghrib tiba
Pelangi jingga nampak bertengger di gubuk beratap rumbia
Lasmita Paijo duduk manis berdua
Melepas lelah rangkai cerita
Bekasi: 30.01.2020
Baca Juga : Sintang Dua Puluh Empat Jam
***
Menunggu Rindu
Sekian kali kau torehkan isyarat cinta untukku
Sebelum langkah pergi menjauh
Di hamparan pasir putih luas membasah
Bawah remang bulan dalam riak ombak tenang tiada gairah
Sementara gemintang diam tak berkerlip
Kurekatkan janjimu pada bilah helai nyiur,
Janji mengalir deras selaras lebat hujan berjatuhan
Rekam jejak kisah dalam kilatan cahaya petir
Serta deru gemuruh gelegar guntur
Setiaku diperaduan, menanti dalam panjangnya malam
Bertaut dalam seribu kemelut hidup
Pergilah berlayar hingga himpunan harta amis kau dapat
Mengukir simpul senyum manis dibibir
Duhai kekasih hati, berjanjilah untuk kembali
Taklukan badai gelombang ganas menerjang
Cadik kecilmu rimbun dengan doa dan harapan
Satu purnama segeralah pulang
Dalam remang bulan di pelataran
Kutunggu datangmu, kudekap rindu
Bekasi: 30.09.2020
***
Senja di Riam Lae Pendaroh
Sejuk sungguh buai angin menyentuh
Telanjangi jiwa lemah merapuh
Mentari redup jagat raya lesu tertunduk
Senja sesaat kan pergi, riam Lae Pendaroh menuai sepi
Derai gerimis mengurai kabut , kelam menebal hingga pucuk perdu
Gadis manis sendiri menopang sepi
Diantara percik gemuruh tirta maya
Datanglah kekasihku, datanglah...!
Dengan rindu kupanggil namamu
Alam sejenak senyap, angin pun pergi
Wangi seribu bunga merebak, satwa senyap
“Pujaaaaaaa!
Suara lirih berat mendesah
Selaras sepoi desah angin senja
Alam hening sepi
“Mendekatlah Bang! Aku rindu.”
“Sejak kau pergi, aku menyulam kesepian panjang tiada ujung
“Hariku seakan dibebani kiloan besi berkarat, kakiku terikat kuat
“Aku tak sanggup, berjuang mempertahankan hidup
“Bawa aku ke alammu, Bang!
“Aku gila tiap detik dicabik rindu
Desau angin senja membisikan seribu rayu
Angan lepas landas membungbung ke langit luas
Mengurai asmara loka dalam pendar senja
Tampar selaksa asa, hasrat memuncak terkulai layu
Kidung semesta sumbang tak berirama
”Pujaaaaa, pergilah........! sebentar gelap menyapa
“Jangan biarkan raksasa malam ganas memangsa,
“Lalu menyeretmu ke meja perjamuan
“Cukuplah aku disini berkawan angin
“sejak lekuk terjal jurang remukan ragaku
“Aku merana ...Puja.” Pergilah kasihku!
Remang senja hilang warna
Rembulan merah jambu manis disinggasana
Mayapada larut dalam bingkai sunyi
Si gadis manis tengadah, memaku diri
Dingin menelusuk
Riam Lae Pendaroh dibuai sejuk
Bekasi: 27. 05.2020
Baca Juga : Puisi Memeluk Rindu
***
Balada Pemuda Jarot
Siang terik memanggang kepala, debu kota menebar merambah meraja
Peluh mengucur deras membasah raga, kerongkongan kering rindukan tirta
Jarot bercelana jeans kusut, menyeruak di antara rimbun kabut
Mata tajam liar mencari sasaran, siapa lengah jadilah mangsa
Jarot preman Pasar Simpang lima, tubuhnya kekar tampangnya sangar
Badik di kiri belati di pinggang kanan, sempoyongan mabuk minuman
Menakutkan
Nun jauh di ujung gang sempit, perempuan tua renta berharap cemas
Merayap menelusuri dinding gubug reyot , merapatkan telinga mencari suara
Duhai anakku semata wayang
Kemanakah seharian engkau menghilang
Nasib buruk Mak cemaskan
“Maaaaak!
Bruuug, di atas papan bambu tak beralas Jarot menjatuhan diri
Sontak memapah lengan lemah
“Sudah kubilang diamlah kala ku tiada, Mak!
Lembut Jarot mengelus wajah keriput, binar tajam matanya kian melembut
“Makanlah, “Mak cepat!
Kudapat rempeyek dan ketupat
Laki-laki berwajah garang merunduk merendah
Hilang gagah serta sikap pongah
Kilau belati, tajamnya badik hilanglah sudah
Jarot preman Pasar Simpang Lima, merunduk sujud menghiba
Pelangi melingkar memagar senja, menabur seribu warna
Bumi memuji langit pun terpana
Bekasi: 20.10.2020
***
Ratih Wahyuningsih, S.Pd.MM. Putri dari pasangan Hadi Rahmat Dharsono dan Sumirat. Lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat pada 7 Juni 1971. Saat ini beralamat di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Tercatat menjadi ASN sejak tahun 2007, bekerja sebagai seorang guru, mengajar di SMPN 1 Setu Kabupaten Bekasi untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pendidikan terakhir S2. Tergabung menjadi anggota dari KPPBR ( Komunitas Pendidik Penulis Bekasi Raya). Karya yang dihasilkan baru berupa karya bersama untuk puisi dan cerpen. Fb: Puja Senja & IG : ratihningsih10
Laman Literasi Kalbar menerima tulisan berupa puisi, cerpen, resensi, & opini. Silakan kirim ke literasikalbar@gmail.com
Ketentuan tulisan bisa baca di Kirim Tulisan
Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon