Karya RM Maulana Khoerun
/1/
Alvrida, bersenjatakan sebatang lilin, kulewati beberapa ilalang yang tumbuh
di pinggir ladang, mencoba menemukan bayang-bayang, sebelum siang melukiskan
petang, tetapi kabut luka yang tercipta dari lembaran nestapa: terbakar api asmara,
sudah terlanjur bertiup mesra, melempar tanya pada kesunyian hati kita.
/2/
Alvrida, sebatang lilin yang aku gunakan untuk mencahayai tanah ladang,
kini hampir habis diterka malam, membuat rindu memutar ingatan, saat gelap
memaktubkan rasa pada bayanganmu yang berdusta. Setelah sekawanan kata
menolak hadir sedikit cinta, untuk singgah di pematang janji, aku merakit
sketsa puisi, dengan diksi yang aku curi dari rahim mimpi, dan sebait perasaan
dari gugur daun kenangan.
/3/
Alvrida, kupersembahkan airmata abadi pada kilau purnama yang basah ini,
sebagai pertanda bahwa rindu dan luka benar-benar ada di antara doa-doa
yang sering kulantunkan sebelum fajar menyapa. Ingatlah, Alvrida; jika cinta
tetap pada presisi embun setelah gerimis dan hujan turun, maka tepian telaga
akan menjadi tempatku menetaskan tangis duka lara dan merebah sisa-sisa
siksa dalam dada.
Pulosari, 2020
***
daun-daun menggelepar di tanah
langit hitam melempar senyum
dan tangan-tangan angin mulai
berayun-ayun di atas ubun
kala itu, bumi perkemahan jadi saksi
kau kujumpa di depan tenda
melontar sapa dengan tawa
aku yakin kau tak menyimpan duka
sebab rautmu sepi dari nestapa
hujan mulai datang
bulir-bulir air berjatuhan dari langit
petir juga sudah memekik
kau kudekap, tanganmu kupinang
biar baumu tidur dalam dadaku dengan tenang.
Sampai akhirnya kini,
kau jadi perampok rindu
aku jadi penadah luka
dan kita saling menghamba
Pagenteran, 2020
***
sajak-sajak yang kurangkai untukmu
tak pernah sampai pada titik paling dalam
jurang malam di dasar hatimu yang suram
kita seakan lupa pada syair lembut purnama
mendidih-luap dari ceruk netra
lalu mengalir ke kanal duka-lara
rindu-sendu rebah di selokan pertama
terhitung dari ujung persimpangan
puisi yang kusajikan
pangkal-pangkal kepalsuan ‘nyulap aspal
jadi ranjang dan wajah puisi dipaksa telanjang
ditikam, dibungkam, dijajah perihal cinta
seperti lolongan anjing malam hari
terjerumus masuk ke lembah sunyi
Siremeng, 2020
***
setiap bumi terpejam
dinding kamarmu jadi malam
wajah langit gelap---tidur panjang
lempar bau tubuhmu ke atas ranjang
dari barat, dari timur
bintang-bintang lari tergopoh
membelalak binar ke pangkuanku
menjelma kertas dan pena
terjerat ‘genggam sebuah puisi rindu
mimpi kita merajah diksi
meminang rintik hujan, menikahi anak sunyi
sebelum akhirnya memasuk lorong-lorong
tempat persemayaman kisah cinta; terpotong
penuh suara anjing-anjing liar melolong
Pemalang, 2020
***
selembar kenangan di atas luka
ialah jawaban dari doa
yang kupanjat disaat duka
aku mewiru semua haru
melepasnya ke samudera biru
biar lenyap, biar hilang
jadi tinggal bayangan lugu
pada bangkai-bangkai masa lalu
tak sempat aku merindu
kau kini sudah abu-abu
tanpa rupa, tanpa raga
tanpa ucap: C I N T A
lengkung senyummu tak tampak lagi
dalam cermin kamarku
juga tak ada lagi di bekas rebah
mimpi malam itu.
Pulosari, 2020
***
aku bukan pak Sapardi
yang selalu ingin mencintaimu
dengan sederhana.
aku ingin mencintaimu
dengan mewah; tentu!
dengan bulir-bulir hujan
yang turun di padang pasir.
aku ingin mencintaimu
dengan glamor; dengan bunga-bunga
bercampur intan permata yang kurajut
menjadi kalung dan kau pakai kelak
di pesta megah pernikahan kita.
Pulosari, 2020
***
ceburkan aku ke kolam bibirmu
tinggal aku sendirian
biar saja; biarkan hingga tenggelam
aku tak akan melawan
meski disiksa liurmu yang kejam
Siremeng,2020
***
manakala senja memungut sisa-sisa suam
daun-daun jatuh di antara kepingan hari
magrib mulai mengeluarkan adzan sebagai
mahar meminang sepi.
langit merah di ubun memaksa mata
untuk terbang melayang seperti sayap lawa
mesra memeluk petang. tak sempat kuhitung
berapa kali wajahmu tampak di sana.
tak sampai kurengkuh erat-erat baunya
dan menjerat-mengurungnya dalam dada.
kau tahu mengapa aku begitu marah?
setelah itu kau masuk dalam tidur!
kau menetap dalam ruang mimpi!
membuatku resah ketika datang pagi
sihir macam apa yang kau gunakan?
ilusi apalagi yang pelajari?
sehingga rindu tepat pada presisi
setiap ruas tubuhku jadi tempat diskusi
hantu-hantu sendu
betapa luka telah banyak mendera
meninggalkan bekas sayat sembilu
dan pedang perak masih menancap
berkarat di sekat hatiku yang retak.
Pulosari, 2020
***
Aku antar kau pulang
Ke tubuh rindu yang mendalam
Agar kau kuat
Menahan jarak terbentang
Aku antar kau pulang
Menyusuri jalan sunyi bebatuan
Mengikis kenangan
Memahat ketabahan
Aku antar kau pulang
ke ceruk duka paling kelam
agar kau pandai menanak luka
di atas tungku airmata
Pemalang, 2020
RM Maulana Khoerun, lahir di Siremeng, Pulosari, Pemalang pada tanggal 18 Maret 2002. Menulis Puisi, Cerpen, dan Opini. Salah satu pendiri grup literasi “RASI PENA”. Sekarang juga masih aktif sebagai Divisi Cipta Karya komunitas sastra “KIDUNG PENA”. Puisinya yang bertajuk “Kepada Prajurit Tuhan di Rumah Sakit” masuk dalam daftar puisi terbaik Hari Puisi Nasional UMM. Tulisan-tulisannya juga sudah tayang di berbagai media; cetak dan elektronik antara lain, Bangka pos, Tanjungpinang Pos, Bali Post, Malang post, Pos Bali, Radar Banyuwangi, Radar Madura, Radar Tasikmalaya, Kabar Madura, Radar Cirebon, Majalah Lentera Bayuangga, Komunitas Kampoeng Jerami, Kabapesisir, Takanta, Akarrantingdaun, dan Travesia. Puisi-puisinya juga terkumpul dalam antologi bersama; Goresan Luka(2020), Kenangan(2020), Palestina di Hati(2020), dan Sajak Untuk Indonesia(2020)
Instagram : rm_maulanakhoerun
Facebook : RM Maulana Khoerun
Email : maulkhoir@gmail.com
Puisi rm maulana Khoerun, Untuk alvrida pic pixabay |
Untuk Alvrida
/1/
Alvrida, bersenjatakan sebatang lilin, kulewati beberapa ilalang yang tumbuh
di pinggir ladang, mencoba menemukan bayang-bayang, sebelum siang melukiskan
petang, tetapi kabut luka yang tercipta dari lembaran nestapa: terbakar api asmara,
sudah terlanjur bertiup mesra, melempar tanya pada kesunyian hati kita.
/2/
Alvrida, sebatang lilin yang aku gunakan untuk mencahayai tanah ladang,
kini hampir habis diterka malam, membuat rindu memutar ingatan, saat gelap
memaktubkan rasa pada bayanganmu yang berdusta. Setelah sekawanan kata
menolak hadir sedikit cinta, untuk singgah di pematang janji, aku merakit
sketsa puisi, dengan diksi yang aku curi dari rahim mimpi, dan sebait perasaan
dari gugur daun kenangan.
/3/
Alvrida, kupersembahkan airmata abadi pada kilau purnama yang basah ini,
sebagai pertanda bahwa rindu dan luka benar-benar ada di antara doa-doa
yang sering kulantunkan sebelum fajar menyapa. Ingatlah, Alvrida; jika cinta
tetap pada presisi embun setelah gerimis dan hujan turun, maka tepian telaga
akan menjadi tempatku menetaskan tangis duka lara dan merebah sisa-sisa
siksa dalam dada.
Pulosari, 2020
***
Asmara Tunas Kelapa
daun-daun menggelepar di tanah
langit hitam melempar senyum
dan tangan-tangan angin mulai
berayun-ayun di atas ubun
kala itu, bumi perkemahan jadi saksi
kau kujumpa di depan tenda
melontar sapa dengan tawa
aku yakin kau tak menyimpan duka
sebab rautmu sepi dari nestapa
hujan mulai datang
bulir-bulir air berjatuhan dari langit
petir juga sudah memekik
kau kudekap, tanganmu kupinang
biar baumu tidur dalam dadaku dengan tenang.
Sampai akhirnya kini,
kau jadi perampok rindu
aku jadi penadah luka
dan kita saling menghamba
Pagenteran, 2020
***
Di Persimpangan Sajak
sajak-sajak yang kurangkai untukmu
tak pernah sampai pada titik paling dalam
jurang malam di dasar hatimu yang suram
kita seakan lupa pada syair lembut purnama
mendidih-luap dari ceruk netra
lalu mengalir ke kanal duka-lara
rindu-sendu rebah di selokan pertama
terhitung dari ujung persimpangan
puisi yang kusajikan
pangkal-pangkal kepalsuan ‘nyulap aspal
jadi ranjang dan wajah puisi dipaksa telanjang
ditikam, dibungkam, dijajah perihal cinta
seperti lolongan anjing malam hari
terjerumus masuk ke lembah sunyi
Siremeng, 2020
***
Membaca Mimpi
setiap bumi terpejam
dinding kamarmu jadi malam
wajah langit gelap---tidur panjang
lempar bau tubuhmu ke atas ranjang
dari barat, dari timur
bintang-bintang lari tergopoh
membelalak binar ke pangkuanku
menjelma kertas dan pena
terjerat ‘genggam sebuah puisi rindu
mimpi kita merajah diksi
meminang rintik hujan, menikahi anak sunyi
sebelum akhirnya memasuk lorong-lorong
tempat persemayaman kisah cinta; terpotong
penuh suara anjing-anjing liar melolong
Pemalang, 2020
***
Mewiru Kenangan
selembar kenangan di atas luka
ialah jawaban dari doa
yang kupanjat disaat duka
aku mewiru semua haru
melepasnya ke samudera biru
biar lenyap, biar hilang
jadi tinggal bayangan lugu
pada bangkai-bangkai masa lalu
tak sempat aku merindu
kau kini sudah abu-abu
tanpa rupa, tanpa raga
tanpa ucap: C I N T A
lengkung senyummu tak tampak lagi
dalam cermin kamarku
juga tak ada lagi di bekas rebah
mimpi malam itu.
Pulosari, 2020
***
Aku Bukan Pak Sapardi
aku bukan pak Sapardi
yang selalu ingin mencintaimu
dengan sederhana.
aku ingin mencintaimu
dengan mewah; tentu!
dengan bulir-bulir hujan
yang turun di padang pasir.
aku ingin mencintaimu
dengan glamor; dengan bunga-bunga
bercampur intan permata yang kurajut
menjadi kalung dan kau pakai kelak
di pesta megah pernikahan kita.
Pulosari, 2020
***
Cerita Malam
ceburkan aku ke kolam bibirmu
tinggal aku sendirian
biar saja; biarkan hingga tenggelam
aku tak akan melawan
meski disiksa liurmu yang kejam
Siremeng,2020
***
Cerita di Tubuh Senja
manakala senja memungut sisa-sisa suam
daun-daun jatuh di antara kepingan hari
magrib mulai mengeluarkan adzan sebagai
mahar meminang sepi.
langit merah di ubun memaksa mata
untuk terbang melayang seperti sayap lawa
mesra memeluk petang. tak sempat kuhitung
berapa kali wajahmu tampak di sana.
tak sampai kurengkuh erat-erat baunya
dan menjerat-mengurungnya dalam dada.
kau tahu mengapa aku begitu marah?
setelah itu kau masuk dalam tidur!
kau menetap dalam ruang mimpi!
membuatku resah ketika datang pagi
sihir macam apa yang kau gunakan?
ilusi apalagi yang pelajari?
sehingga rindu tepat pada presisi
setiap ruas tubuhku jadi tempat diskusi
hantu-hantu sendu
betapa luka telah banyak mendera
meninggalkan bekas sayat sembilu
dan pedang perak masih menancap
berkarat di sekat hatiku yang retak.
Pulosari, 2020
***
Aku Antar Kau Pulang
Aku antar kau pulang
Ke tubuh rindu yang mendalam
Agar kau kuat
Menahan jarak terbentang
Aku antar kau pulang
Menyusuri jalan sunyi bebatuan
Mengikis kenangan
Memahat ketabahan
Aku antar kau pulang
ke ceruk duka paling kelam
agar kau pandai menanak luka
di atas tungku airmata
Pemalang, 2020
RM Maulana Khoerun, lahir di Siremeng, Pulosari, Pemalang pada tanggal 18 Maret 2002. Menulis Puisi, Cerpen, dan Opini. Salah satu pendiri grup literasi “RASI PENA”. Sekarang juga masih aktif sebagai Divisi Cipta Karya komunitas sastra “KIDUNG PENA”. Puisinya yang bertajuk “Kepada Prajurit Tuhan di Rumah Sakit” masuk dalam daftar puisi terbaik Hari Puisi Nasional UMM. Tulisan-tulisannya juga sudah tayang di berbagai media; cetak dan elektronik antara lain, Bangka pos, Tanjungpinang Pos, Bali Post, Malang post, Pos Bali, Radar Banyuwangi, Radar Madura, Radar Tasikmalaya, Kabar Madura, Radar Cirebon, Majalah Lentera Bayuangga, Komunitas Kampoeng Jerami, Kabapesisir, Takanta, Akarrantingdaun, dan Travesia. Puisi-puisinya juga terkumpul dalam antologi bersama; Goresan Luka(2020), Kenangan(2020), Palestina di Hati(2020), dan Sajak Untuk Indonesia(2020)
Instagram : rm_maulanakhoerun
Facebook : RM Maulana Khoerun
Email : maulkhoir@gmail.com
Laman Literasi Kalbar menerima tulisan berupa puisi, cerpen, resensi & opini. Silakan kirim ke literasikalbar@gmail.com
Ketentuan tulisan bisa baca di Kirim Tulisan
Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon