Cerpen Rumadi
Karmin terbangun dengan napas terengah. Tersengal berat. Lidahnya tercekat. Lehernya serasa dicekik kematian. Ia bermimpi didatangi kepala tanpa tubuh. Melayang. Keringat dingin menetes di sekujur tubuhnya. Angin malam yang menghempas lewat celah dinding bambu rumahnya tak mampu mengusir kegerahan yang melanda. Tiba-tiba Karmin menggigil. Ia ketakutan. Bibirnya bergetar. Dengan gerakan yang sangat singkat, Karmin mencoba melawan ketakutannya sendiri. Ia segera berdiri, kemudian berlari sekencang-kencangnya. Meski dalam keremangan, ia hafal seluk-beluk rumahnya. Ia tergesa-gesa menyingkirkan palang pintu rumahnya. BUK!!! Ia lemparkan begitu saja. Ia bergegas ke belakang rumah dimana pohon kelapa banyak berjajar berdiri. Ia teringat pesan guru mengajinya di masa kecil. Dengan azan. Para dedemit takut dengan kumandang azan.
Tak kalah cekatan dari monyet, tiba-tiba ia sudah berada di pucuk pohon kelapa. Gigilnya belum hilang benar. Ia memaksa bibirnya untuk bersuara. Mengumandangkan azan. Satu per satu orang-orang di sekitar rumah Karmin terbangun. Benak mereka dipenuhi tanda tanya. Subuh masih jauh, jarum jam juga baru menunjukkan pukul dua malam. Terlebih lagi, suara Karmin terdengar pilu dan menyayat hati. Azan seseorang yang sedang putus asa.
Orang-orang berkerumun dengan menyalakan obor. Mereka bergumam tiada henti. Karmin mengulang-ulang azannya. Mengusik telinga mereka yang sedang lelap dalam tidurnya. Para lelaki bertelanjang dada. Sementara anak kecil yang terbangun di malam itu, memeluk ibunya dengan erat.
Mereka telah berkumpul di bawah pohon kelapa dimana Karmin memanjat. Nyala obor menjadi penerang mereka. Sesekali terdengar nyamuk menguing di telinga mereka. Muncul dari semak-semak dan mengganggu begitu saja.
"Karmin, turun kau! Apa yang kau lakukan tengah malam begini? Mengganggu orang tidur saja!" salah seorang tetangganya yang paling dekat tampak begitu kesal. Matanya menyala sedikit liar.
"Karmin. Turun! Subuh belum juga tiba. Buat apa kau azan-azan begitu?" sahut tetangganya yang lain.
Karmin tak memedulikan suara orang-orang di bawahnya. Ia terus mengumandangkan azan. Semakin keras, semakin melengking tajam. Lama-kelamaan orang yang menyuruhnya turun merasa putus asa. Mereka sudah mencoba menggoyangkan pohon kelapa itu, juga sudah melempari Karmin dengan batu. Namun Karmin tak memedulikan mereka. Ia tetap mengumandangkan azan dengan nada menyayat. Mereka menyerah, karena usaha untuk menghentikan apa yang dilakukan Karmin tidak membuahkan hasil. Mereka pun kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan jengkel. Mereka kembali berselimut sarung, sambil menyumpal telinga mereka dengan jari.
***
Hingga azan subuh tiba, layaknya seekor bajing, Karmin tetap berada di atas pohon kelapa. Ia lelap di sana. Tangannya begitu lengket dengan dahan pohon kelapa itu. Ia melongok ke bawah. Tak ada siapapun. Karmin hanya takut mimpinya menjadi kenyataan. Karmin segera turun. Mungkin setan-setan dalam mimpinya sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Secekatan ia naik, secekatan itu pula ia turun. Baru saja hendak melangkah pulang kembali ke rumahnya Karmin tersentak.
Langkah kaki Karmin seperti terpaku ke bumi. Badannya tiba-tiba tidak bisa bergerak. Dalam jarak lima langkah di depannya Karmin melihat sesuatu yang dilihatnya di dalam mimpi. Kepala manusia. Kepala itu melayang, tak bertubuh. Sorot mata kepala itu bersinar, menatap Karmin dengan pandang mengancam. Bau anyir darah menguar. Kepala itu dipenuhi dengan tetesan darah. Karmin ingin berteriak, namun suara itu mendadak hilang. Tak ada apa-apa. Tak ada siapa-siapa.
Dengan gerakan perlahan seperti digerakkan oleh angin—kepala itu mendekat ke arahnya. Karmin hendak berlari. Namun apa daya, segala tenaganya meruap entah kemana. Kepala itu semakin mendekat hingga jarak Karmin dan kepala itu tinggal satu langkah.
"Kau masih ingat aku?" terdengar suara menggema di angkasa. Suara yang berdengung-dengung di telinga Karmin.
Bibir Karmin kembali bergetar. Ia membuka mulut, namun tak ada suara yang keluar dari kerongkongannya.
"S..s..si...siapa kau?" Dengan terpatah dan terbata Karmin berusaha menyusun kata.
"Kau lupa? Atau sengaja melupakan?" Kembali terdengar suara melengking tajam di angkasa.
Karmin memberanikan menatap kepala melayang itu dengan saksama. Apakah kepala itu wajah yang dikenalnya? Ia seperti mengenal wajah itu. Namun ia lupa siapa dan dimana bertemu wajah itu. Samar-samar ia berusaha mengingat. Lagipula, wajah itu dipenuhi dengan darah, menyulitkannya membongkar ingatan.
Karmin menghela napas berat. Memberikan jeda pada angin yang mungkin bisa memberikan sedikit ketenangan padanya.
"Aku ingin tubuhku. Ke mana kau buang tubuhku?" Lagi-lagi seolah-olah kepala melayang itu bersuara.
Karmin kembali disergap ketakutan. Sekarang, tubuhnya bisa sedikit bergerak. Ia berlari, sekencang-kencangnya, sejauh-jauhnya. Ia berlari menuju masjid. Mungkin dedemit akan takut mengikutinya jika ia masuk ke sana.
***
Orang-orang baru saja selesai solat subuh ketika Karmin tiba dengan napas terengah di pelataran masjid. Karena tak berhati-hati, Karmin tersandung batu kemudian terjungkal. Orang-orang berusaha menolongnya. Tetapi Karmin yang ketakutan segera berdiri lagi, membelah kerumunan untuk masuk ke dalam masjid. Orang-orang kebingungan dengan tingkah laku Karmin yang aneh.
Orang-orang terbelalak. Mereka melihat sebuah kepala melayang meluncur mengikuti Karmin. Kepala itu mendekati mereka. Mereka bersiap. Bahkan, ada yang bersiap melemparkan obor ke arah kepala itu. Beberapa orang terlihat sedang berucap istigfar. Kepala itu berhenti sejenak. Kemudian melaju kembali, tetapi orang-orang menghadangnya. Obor benar-benar dilempar. Meski hanya sebuah kepala, gerakannya sangat gesit. Kepala itu berhasil menghindar. Obor itu terlempar begitu saja, tak mengenainya. Terdengar bunyi cekikikan di angkasa. Orang-orang mendongak ke atas. Tak ada siapa-siapa. Hanya ada kepala itu. Mungkin saja kepala itu yang bersuara.
Jalanan yang dilalui oleh kepala itu dipenuhi dengan tetesan darah. Beberapa orang yang mulai terganggu mulai menutup hidung.
"Aku tak ada urusan dengan kalian. Urusanku dengan Karmin. Minggir kalian. Jangan mencampuri urusanku!" Suara menggema di angkasa.
Beberapa di antara mereka tampak panik. Berbalik lari tunggang langgang. Bulu kuduk mereka meremang. Tertinggal tiga orang yang tidak panik sedikitpun. Malah mereka mendekat.
"Apa urusanmu dengan Karmin? Apa salah dia? Belum juga fajar dia sudah mengumandangkan azan di atas pohon kelapa. Apakah gara-gara kau?" Salah seorang yang memakai peci bersuara. Ia tidak gentar sedikitpun. Tangannya mengepal kuat.
"Sudah kukatakan, bukan urusan kalian. Biar aku selesaikan urusanku dengan Karmin!" Hantu kepala itu mengitari mereka. Slap! Dengan satu gerakan kepala itu meluncur hendak mengejar Karmin ke dalam masjid.
Hap! Seseorang berhasil menghadang kepala itu dengan galah. Gerakannya sangat gesit. Meski kepala itu berusaha mencari celah, ia tampak kesulitan melewatinya.
Ayam berkokok di kejauhan. Angin pagi terasa segar dalam setiap helaan napas. Ketiga orang itu, meski dengan napas terengah berusaha menjauhkan kepala itu dari masjid.
"Apakah kau ingin mengotori tempat ibadah kami dengan darahmu yang najis? Tidakkah kau kasihan kepada kami? Apakah juga kau tidak merasa bersalah kepada Tuhanmu? Kau telah mengganggu ketenangan desa kami, juga tempat ibadah kami!" Orang ketiga berbicara. Hantu kepala itu malah tertawa. Menggema. Tawa seseorang yang bahagia, juga terluka di waktu yang bersamaan.
Tiba-tiba orang-orang mengerubung ramai. Ada yang melihat kepala itu dengan menutupi matanya, tapi masih membuka sedikit celah. Ada yang gemetar, ada yang berlari kembali ke rumah saat mereka melihat kepala terbang itu sebegitu mengerikan.
Karmin muncul di sela-sela kerumunan. Ia pandangi kepala itu. Cahaya matahari menyemburat, menerpa jiwa-jiwa yang telah dibangunkan oleh alam. Embun pagi membawa kesegaran pada jiwa-jiwa yang dilanda kekalutan.
***
Aktivitas berhenti di hari itu. Kepala itu menjadi tontonan. Tidak ada yang berani menyerang, juga tidak ada yang berani meringkusnya. Takut jika mereka menyerangnya, mereka akan diserang ratusan mungkin ribuan hantu kepala yang lain. Kiai Martono yang baru selesai memberi makan ternak menyeruak kerumunan.
"Apa yang kau ingin dari desa kami? Biar kami berikan. Supaya engkau tidak mengganggu kami lagi, begitupun kami, akan kembali damai seperti sediakala." Kiai berusaha memberikan yang terbaik, ketika ada seseorang yang meminta pertolongannya.
Kepala itu memandang tajam ke arah Karmin. Darah yang menetes dari kepala itu semakin banyak. Karmin semakin sulit mengingat siapa sebenarnya hantu kepala itu. Ataukah dia kiriman dari dukun?
"Aku hanya ingin menyatu dengan tubuhku kembali. Dan dikuburkan dengan tenang. Hanya itu. Biarlah Karmin menjadi urusan antara dia dan Tuhannya." Kepala itu kembali bersuara.
Kiai Martono mengangguk-anggukkan kepala. Ia paham apa yang terjadi. Peristiwa ini akan berbuntut panjang, seperti apa yang sudah pernah ia perkirakan.
***
Malam itu di pinggiran kali, Karmin sudah menyembelih orang-orang yang dicap merah. Ada nama Zulkifli di sana, sang muazin masjid. Karmin sudah diberitahu orang-orang bahwa Zul adalah seseorang yang rajin ke masjid. Bahkan selalu menjadi orang pertama yang datang ke masjid karena ia seorang muazin. Tetapi Karmin kukuh dengan pendiriannya. Nama Zul tertera di lembaran yang sedang ia genggam. Ditambah lagi, tubuh Karmin sempoyongan karena tuak. Seandainya ia tak menenggak tuak, ia tak mungkin seberani itu.
Zul pasrah. Menunduk. Bibirnya menggumamkan zikir. Kawan-kawan Karmin khawatir Karmin salah bunuh orang. Bukankah tidak mungkin ada Zul yang lain? Karmin meyakinkan mereka. Hanya ada satu nama Zulkifli di desa yang mereka tinggali. Karmin membentak mereka, seketika semuanya diam. Bet! Karmin menyabet kepala Zul. Seketika kepala itu terputus, kemudian menggelinding dan dibawa arus sungai. Karmin meminta teman-temannya untuk menceburkan juga tubuh Zul yang tanpa kepala.
***
Tubuh itu ditemukan. Meski banyak tubuh yang tersangkut cabang-cabang pohon yang menjuntai hingga pinggiran kali, kepala itu masih mengenali tubuhnya sendiri. Warga berbondong-bondong menggotong tubuh tanpa kepala itu. Bukan hanya tubuh Zul, mereka juga membawa tubuh-tubuh lain yang tanpa kepala. Orang-orang yang tak tahu menahu apa yang terjadi baru menyadari penyebab kali menjadi semerah darah beberapa hari lalu. Banyak kepala yang terpenggal. Banyak tubuh yang kehilangan kepalanya.
Zul telah disolati, dimakamkan dengan layak. Keluarga Zul menjadi orang terakhir yang melayat. Ibu dan istrinya menangis sesenggukan. Selama ini mereka mencari kemana kepergian Zul. Zul juga tak berpamitan. Dan sekarang mereka telah mengetahui jawabannya.
***
Terdengar suara azan yang menyayat setiap malam. Di saat gelap belum menghilang benar. Bukan di masjid, bukan pula di musala. Ia mengumandangkan azan di atas pohon kelapa. Dan dibawahnya, kepala-kepala manusia menatapnya dengan pandang mengerikan. Tak ada yang melihatnya meski orang-orang telah berkumpul mengelilinginya. Setiap malam, ia disergap ketakutan. Badannya menggigil, bibirnya berdesis. Hanya azan sejenak di atas pohon kelapa, yang bisa mengobati segala ketakutan yang menyerang hatinya.
Ciputat, 14 November 2018
Cerita ini terinpirasi dari film dokumenter berjudul Senyap yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer
Isi merupakan tanggung jawab penulis
Kepala-kepala Terbang, sumber gambar pixabay dan editing |
Kepala-Kepala Terbang
Karmin terbangun dengan napas terengah. Tersengal berat. Lidahnya tercekat. Lehernya serasa dicekik kematian. Ia bermimpi didatangi kepala tanpa tubuh. Melayang. Keringat dingin menetes di sekujur tubuhnya. Angin malam yang menghempas lewat celah dinding bambu rumahnya tak mampu mengusir kegerahan yang melanda. Tiba-tiba Karmin menggigil. Ia ketakutan. Bibirnya bergetar. Dengan gerakan yang sangat singkat, Karmin mencoba melawan ketakutannya sendiri. Ia segera berdiri, kemudian berlari sekencang-kencangnya. Meski dalam keremangan, ia hafal seluk-beluk rumahnya. Ia tergesa-gesa menyingkirkan palang pintu rumahnya. BUK!!! Ia lemparkan begitu saja. Ia bergegas ke belakang rumah dimana pohon kelapa banyak berjajar berdiri. Ia teringat pesan guru mengajinya di masa kecil. Dengan azan. Para dedemit takut dengan kumandang azan.
Tak kalah cekatan dari monyet, tiba-tiba ia sudah berada di pucuk pohon kelapa. Gigilnya belum hilang benar. Ia memaksa bibirnya untuk bersuara. Mengumandangkan azan. Satu per satu orang-orang di sekitar rumah Karmin terbangun. Benak mereka dipenuhi tanda tanya. Subuh masih jauh, jarum jam juga baru menunjukkan pukul dua malam. Terlebih lagi, suara Karmin terdengar pilu dan menyayat hati. Azan seseorang yang sedang putus asa.
Orang-orang berkerumun dengan menyalakan obor. Mereka bergumam tiada henti. Karmin mengulang-ulang azannya. Mengusik telinga mereka yang sedang lelap dalam tidurnya. Para lelaki bertelanjang dada. Sementara anak kecil yang terbangun di malam itu, memeluk ibunya dengan erat.
Baca Juga: Cerpen| Tanda Tanya
Mereka telah berkumpul di bawah pohon kelapa dimana Karmin memanjat. Nyala obor menjadi penerang mereka. Sesekali terdengar nyamuk menguing di telinga mereka. Muncul dari semak-semak dan mengganggu begitu saja.
"Karmin, turun kau! Apa yang kau lakukan tengah malam begini? Mengganggu orang tidur saja!" salah seorang tetangganya yang paling dekat tampak begitu kesal. Matanya menyala sedikit liar.
"Karmin. Turun! Subuh belum juga tiba. Buat apa kau azan-azan begitu?" sahut tetangganya yang lain.
Karmin tak memedulikan suara orang-orang di bawahnya. Ia terus mengumandangkan azan. Semakin keras, semakin melengking tajam. Lama-kelamaan orang yang menyuruhnya turun merasa putus asa. Mereka sudah mencoba menggoyangkan pohon kelapa itu, juga sudah melempari Karmin dengan batu. Namun Karmin tak memedulikan mereka. Ia tetap mengumandangkan azan dengan nada menyayat. Mereka menyerah, karena usaha untuk menghentikan apa yang dilakukan Karmin tidak membuahkan hasil. Mereka pun kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan jengkel. Mereka kembali berselimut sarung, sambil menyumpal telinga mereka dengan jari.
***
Hingga azan subuh tiba, layaknya seekor bajing, Karmin tetap berada di atas pohon kelapa. Ia lelap di sana. Tangannya begitu lengket dengan dahan pohon kelapa itu. Ia melongok ke bawah. Tak ada siapapun. Karmin hanya takut mimpinya menjadi kenyataan. Karmin segera turun. Mungkin setan-setan dalam mimpinya sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Secekatan ia naik, secekatan itu pula ia turun. Baru saja hendak melangkah pulang kembali ke rumahnya Karmin tersentak.
Langkah kaki Karmin seperti terpaku ke bumi. Badannya tiba-tiba tidak bisa bergerak. Dalam jarak lima langkah di depannya Karmin melihat sesuatu yang dilihatnya di dalam mimpi. Kepala manusia. Kepala itu melayang, tak bertubuh. Sorot mata kepala itu bersinar, menatap Karmin dengan pandang mengancam. Bau anyir darah menguar. Kepala itu dipenuhi dengan tetesan darah. Karmin ingin berteriak, namun suara itu mendadak hilang. Tak ada apa-apa. Tak ada siapa-siapa.
Baca Juga: Membaca Buku Kegiatan yang Melelahkan
Dengan gerakan perlahan seperti digerakkan oleh angin—kepala itu mendekat ke arahnya. Karmin hendak berlari. Namun apa daya, segala tenaganya meruap entah kemana. Kepala itu semakin mendekat hingga jarak Karmin dan kepala itu tinggal satu langkah.
"Kau masih ingat aku?" terdengar suara menggema di angkasa. Suara yang berdengung-dengung di telinga Karmin.
Bibir Karmin kembali bergetar. Ia membuka mulut, namun tak ada suara yang keluar dari kerongkongannya.
"S..s..si...siapa kau?" Dengan terpatah dan terbata Karmin berusaha menyusun kata.
"Kau lupa? Atau sengaja melupakan?" Kembali terdengar suara melengking tajam di angkasa.
Karmin memberanikan menatap kepala melayang itu dengan saksama. Apakah kepala itu wajah yang dikenalnya? Ia seperti mengenal wajah itu. Namun ia lupa siapa dan dimana bertemu wajah itu. Samar-samar ia berusaha mengingat. Lagipula, wajah itu dipenuhi dengan darah, menyulitkannya membongkar ingatan.
Karmin menghela napas berat. Memberikan jeda pada angin yang mungkin bisa memberikan sedikit ketenangan padanya.
"Aku ingin tubuhku. Ke mana kau buang tubuhku?" Lagi-lagi seolah-olah kepala melayang itu bersuara.
Karmin kembali disergap ketakutan. Sekarang, tubuhnya bisa sedikit bergerak. Ia berlari, sekencang-kencangnya, sejauh-jauhnya. Ia berlari menuju masjid. Mungkin dedemit akan takut mengikutinya jika ia masuk ke sana.
***
Orang-orang baru saja selesai solat subuh ketika Karmin tiba dengan napas terengah di pelataran masjid. Karena tak berhati-hati, Karmin tersandung batu kemudian terjungkal. Orang-orang berusaha menolongnya. Tetapi Karmin yang ketakutan segera berdiri lagi, membelah kerumunan untuk masuk ke dalam masjid. Orang-orang kebingungan dengan tingkah laku Karmin yang aneh.
Orang-orang terbelalak. Mereka melihat sebuah kepala melayang meluncur mengikuti Karmin. Kepala itu mendekati mereka. Mereka bersiap. Bahkan, ada yang bersiap melemparkan obor ke arah kepala itu. Beberapa orang terlihat sedang berucap istigfar. Kepala itu berhenti sejenak. Kemudian melaju kembali, tetapi orang-orang menghadangnya. Obor benar-benar dilempar. Meski hanya sebuah kepala, gerakannya sangat gesit. Kepala itu berhasil menghindar. Obor itu terlempar begitu saja, tak mengenainya. Terdengar bunyi cekikikan di angkasa. Orang-orang mendongak ke atas. Tak ada siapa-siapa. Hanya ada kepala itu. Mungkin saja kepala itu yang bersuara.
Jalanan yang dilalui oleh kepala itu dipenuhi dengan tetesan darah. Beberapa orang yang mulai terganggu mulai menutup hidung.
"Aku tak ada urusan dengan kalian. Urusanku dengan Karmin. Minggir kalian. Jangan mencampuri urusanku!" Suara menggema di angkasa.
Baca Juga: Sajak-Sajak Nurytha Maulidya
Beberapa di antara mereka tampak panik. Berbalik lari tunggang langgang. Bulu kuduk mereka meremang. Tertinggal tiga orang yang tidak panik sedikitpun. Malah mereka mendekat.
"Apa urusanmu dengan Karmin? Apa salah dia? Belum juga fajar dia sudah mengumandangkan azan di atas pohon kelapa. Apakah gara-gara kau?" Salah seorang yang memakai peci bersuara. Ia tidak gentar sedikitpun. Tangannya mengepal kuat.
"Sudah kukatakan, bukan urusan kalian. Biar aku selesaikan urusanku dengan Karmin!" Hantu kepala itu mengitari mereka. Slap! Dengan satu gerakan kepala itu meluncur hendak mengejar Karmin ke dalam masjid.
Hap! Seseorang berhasil menghadang kepala itu dengan galah. Gerakannya sangat gesit. Meski kepala itu berusaha mencari celah, ia tampak kesulitan melewatinya.
Ayam berkokok di kejauhan. Angin pagi terasa segar dalam setiap helaan napas. Ketiga orang itu, meski dengan napas terengah berusaha menjauhkan kepala itu dari masjid.
"Apakah kau ingin mengotori tempat ibadah kami dengan darahmu yang najis? Tidakkah kau kasihan kepada kami? Apakah juga kau tidak merasa bersalah kepada Tuhanmu? Kau telah mengganggu ketenangan desa kami, juga tempat ibadah kami!" Orang ketiga berbicara. Hantu kepala itu malah tertawa. Menggema. Tawa seseorang yang bahagia, juga terluka di waktu yang bersamaan.
Baca Juga: Cerpen | Sebuah Rahasia
Tiba-tiba orang-orang mengerubung ramai. Ada yang melihat kepala itu dengan menutupi matanya, tapi masih membuka sedikit celah. Ada yang gemetar, ada yang berlari kembali ke rumah saat mereka melihat kepala terbang itu sebegitu mengerikan.
Karmin muncul di sela-sela kerumunan. Ia pandangi kepala itu. Cahaya matahari menyemburat, menerpa jiwa-jiwa yang telah dibangunkan oleh alam. Embun pagi membawa kesegaran pada jiwa-jiwa yang dilanda kekalutan.
***
Aktivitas berhenti di hari itu. Kepala itu menjadi tontonan. Tidak ada yang berani menyerang, juga tidak ada yang berani meringkusnya. Takut jika mereka menyerangnya, mereka akan diserang ratusan mungkin ribuan hantu kepala yang lain. Kiai Martono yang baru selesai memberi makan ternak menyeruak kerumunan.
"Apa yang kau ingin dari desa kami? Biar kami berikan. Supaya engkau tidak mengganggu kami lagi, begitupun kami, akan kembali damai seperti sediakala." Kiai berusaha memberikan yang terbaik, ketika ada seseorang yang meminta pertolongannya.
Kepala itu memandang tajam ke arah Karmin. Darah yang menetes dari kepala itu semakin banyak. Karmin semakin sulit mengingat siapa sebenarnya hantu kepala itu. Ataukah dia kiriman dari dukun?
"Aku hanya ingin menyatu dengan tubuhku kembali. Dan dikuburkan dengan tenang. Hanya itu. Biarlah Karmin menjadi urusan antara dia dan Tuhannya." Kepala itu kembali bersuara.
Kiai Martono mengangguk-anggukkan kepala. Ia paham apa yang terjadi. Peristiwa ini akan berbuntut panjang, seperti apa yang sudah pernah ia perkirakan.
Baca Juga: Perjuangan Rakyat Sambas Menentang Penjajah
***
Malam itu di pinggiran kali, Karmin sudah menyembelih orang-orang yang dicap merah. Ada nama Zulkifli di sana, sang muazin masjid. Karmin sudah diberitahu orang-orang bahwa Zul adalah seseorang yang rajin ke masjid. Bahkan selalu menjadi orang pertama yang datang ke masjid karena ia seorang muazin. Tetapi Karmin kukuh dengan pendiriannya. Nama Zul tertera di lembaran yang sedang ia genggam. Ditambah lagi, tubuh Karmin sempoyongan karena tuak. Seandainya ia tak menenggak tuak, ia tak mungkin seberani itu.
Zul pasrah. Menunduk. Bibirnya menggumamkan zikir. Kawan-kawan Karmin khawatir Karmin salah bunuh orang. Bukankah tidak mungkin ada Zul yang lain? Karmin meyakinkan mereka. Hanya ada satu nama Zulkifli di desa yang mereka tinggali. Karmin membentak mereka, seketika semuanya diam. Bet! Karmin menyabet kepala Zul. Seketika kepala itu terputus, kemudian menggelinding dan dibawa arus sungai. Karmin meminta teman-temannya untuk menceburkan juga tubuh Zul yang tanpa kepala.
***
Tubuh itu ditemukan. Meski banyak tubuh yang tersangkut cabang-cabang pohon yang menjuntai hingga pinggiran kali, kepala itu masih mengenali tubuhnya sendiri. Warga berbondong-bondong menggotong tubuh tanpa kepala itu. Bukan hanya tubuh Zul, mereka juga membawa tubuh-tubuh lain yang tanpa kepala. Orang-orang yang tak tahu menahu apa yang terjadi baru menyadari penyebab kali menjadi semerah darah beberapa hari lalu. Banyak kepala yang terpenggal. Banyak tubuh yang kehilangan kepalanya.
Zul telah disolati, dimakamkan dengan layak. Keluarga Zul menjadi orang terakhir yang melayat. Ibu dan istrinya menangis sesenggukan. Selama ini mereka mencari kemana kepergian Zul. Zul juga tak berpamitan. Dan sekarang mereka telah mengetahui jawabannya.
***
Terdengar suara azan yang menyayat setiap malam. Di saat gelap belum menghilang benar. Bukan di masjid, bukan pula di musala. Ia mengumandangkan azan di atas pohon kelapa. Dan dibawahnya, kepala-kepala manusia menatapnya dengan pandang mengerikan. Tak ada yang melihatnya meski orang-orang telah berkumpul mengelilinginya. Setiap malam, ia disergap ketakutan. Badannya menggigil, bibirnya berdesis. Hanya azan sejenak di atas pohon kelapa, yang bisa mengobati segala ketakutan yang menyerang hatinya.
Ciputat, 14 November 2018
Cerita ini terinpirasi dari film dokumenter berjudul Senyap yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer
Rumadi, lahir di Pati 1990. Saat ini aktif di Forum Lingkar Pena cabang Ciputat dan komunitas Prosa Tujuh.
Isi merupakan tanggung jawab penulis
Laman Literasi Kalbar menerima tulisan berupa puisi, cerpen, resensi & opini. Silakan kirim ke literasikalbar@gmail.com
Ketentuan tulisan bisa baca di Kirim Tulisan
Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon