Cerpen Edri Ed
Malang tak berbau. Perihal takdir kita hanya bisa menjalani. Setiap garis kehidupan maupun kematian telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa. Sebagai hamba kita hanya bisa pasrah terhadap takdir. Selalu bersyukur dan menerima apapun yang telah maupun yang akan terjadi.
Kalimat-kalimat itu selalu kudengar beberapa hari ini dari Pak Usup. Sikap pasrah seperti itu dan kalimat-kalimatnya membuat gendang telingaku terasa pecah setiap kali mendengarnya, kendati ia bicara sangat tenang, bahkan terkesan lemah lembut.
Sebagai orang yang dituakan di kampung tentu kata-katanya mudah diterima oleh warga. Setiap kali ia bicara, suasana akan terasa begitu tenang karena tutur katanya yang mendamaikan. Orang-orang akan banyak diam menyimak dengan baik, manut, bahkan beberapa kali menganggukkan kepala ketika mata Pak Usup yang teduh menatap wajah mereka.
Barangkali, tatapan teduh itu masuk hingga ke dalam mata hati mereka.
Aku pun demikian, tak jarang aku tanpa sadar menganggukan kepala ketika mendengar Pak Usup bicara, walaupun terkadang aku buta dengan maksud yang hendak disampaikannya. Yah, aku rasa atau lebih tepatnya aku pikir, kebiasaan mengangguk tanpa mengerti bukan hanya aku saja yang mengalaminya.
Hampir setiap hari kutemukan teman-temanku mengangguk saat guru mengajar. Apakah mereka paham? Tidak sama sekali. Tanpa disadari, dengan menganggukan kepala tanpa paham makna yang disampaikan adalah suatu tindakan membodohi diri sendiri. Bagaimana mungkin menghindar dari jerat orang lain jika kebiasaan membodohi diri sendiri tetap ditumbuhkembangkan, tetap ditumbuhsuburkan.
Itu sebabnya untuk kali ini aku sama sekali tidak terima buta tentang apa yang disampaikan oleh Pak Usup. Akhirnya kupotong juga ucapannya setelah beberapa menit kami terdiam mendengarkan ceramah darinya itu. Kutanyakan ketidakpahamanku dengan sungguh-sungguh.
“Apeke kejadian macam itok bise dikatekan takder, Pak Long?”
Serentak mata orang-orang menolehku, termasuk Pak Usup. Suasana seketika menjadi sunyi. Hening. Hanya terdengar suara sendok beradu dengan teko dari dapur, itupun terdengar begitu samar. Ah, tampaknya semangat keluarga ini belum juga pulih sehingga mengaduk kopi begitu pelan.
Ya, kopi. Aku tahu itu, sebab belum ada tersedia kopi di hadapan orang-orang seperti biasanya. Dadaku terasa bergemuruh. Aku takut pertanyaan itu dianggap terlalu bodoh untuk diutarakan.
Cukup lama Pak Usup terdiam. Aku benar-benar tidak tahu membedakan apa itu takdir. Apa bedanya dengan nasib? Jika masalah seperti ini adalah takdir, sungguh malang sekali Dewi. Iya Dewi. Dewi yang mati di hutan tiga hari lalu tanpa mengenakan sehelai benang di tubuhnya.
Ia diperkosa lalu dibunuh begitu saja. Mayatnya ditimbun dengan rerumputan di samping pohon nibung. Seragam sekolahnya juga tergeletak di sana, di bawah rerumputan yang belum terlalu kering. Dan malam ini adalah malam tiga hari kematiannya, orang-orang berkumpul di rumahnya. Membaca Yasin untuknya. Mendoakan ketenangannya di alam sana.
Seketika Pak Usup memecah kesunyian. “Itoklah takder. Kite daan tau dengan ape yang terjadi pade kite. Kematian kite seperti ape, kite pun dak akan tau. Iye dah hukum Allah, ketentuan-Nye. Kite hanye bise pasrah nerimak takder kite."
"Yang panting kite bise ambek pelajaran dari kejadian itok. Masalah itok usah nak kite ingar-ingarkan gilak. Kasian dengan keluargenye. Kasian dengan dek beradeknye. Dan kasian juak dengan almarhum jike diingar-ingarkan tolen. Kalak daan tannang die di sinun,” masih dengan nada tenang sambil sesekali menghisap rokok di tangannya dengan hati-hati, sebab tembakaunya hampir habis dilalap bara api.
Orang-orang masih terdiam. Beberapa yang lain mengangguk pelan. Pak Usup semakin dalam menghisap rokoknya setelah mengatakan itu, lalu memasang kembali sebatang setelah membuang yang sebelumnya ke asbak.
“Sukor Pak Usup cappat naukannye, mun daan dah abis die dimakan binatang, dimakan ulat ape nang andak,” lirih Ning Ida, ibu Dewi, sambil membawa nampan berisi beberapa gelas kopi.
Kerudung panjang berwarna hitam yang ia kenakan tak mampu menyembunyikan bengkak dan merah matanya.
Ya, untunglah Pak Usup cepat menemukan mayat Dewi tiga hari lalu, jika tidak, mungkin mayat Dewi sudah menjadi tulang-belulang di sana., dimakan ulat atau binatang-binatang liar. Sekali lagi, beruntung ada Pak Usup.
Aku tak lagi bersuara, tidak juga mengangguk mendengar jawaban Pak Usup. Pikiranku entah ke mana. Aku sangat bingung dengan takdir. Bagaimana bisa Tuhan memberi takdir yang begitu buruk pada Dewi.
Lalu, apakah yang memperkosa dan membunuhnya juga ditakdirkan untuk memperkosa dan membunuh? Dan satu hal lagi, apakah Pak Usup juga ditakdirkan untuk menemukan mayat Dewi? Ah, aku semakin bingung. Dan apakah aku yang bingung dengan ini juga ditakdirkan untuk bingung? Entahlah.
Terlepas dari kebingunganku terhadap takdir, pikiranku juga menggerayang pada kelakuan Pak Usup beberapa hari lalu di jalan setapak yang sepi itu. Itu jalan satu-satunya menuju sekolah kami. Jalan sepi serta becek sepanjang hampir dua kilo itu setiap hari kami lewati untuk berangkat dan pulang sekolah. Jalan itu juga digunakan untuk menuju kebun karet warga karena tidak ada jalan lain.
Selama tiga hari berturut-turut kami melihat Pak Usup di tepi jalan sana ketika pulang sekolah. Lokasinya tak jauh dari mayat Dewi ditemukan. Pukul setengah lima sore ia masih saja di sana. Bahkan, sehari kemudian, setelah pertama kali kami melihat Pak Usup di sana, ia sudah selesai membangun satu dangau berdinding papan.
Waktu itu Dewi mengatakan bahwa di belakang dangau itu adalah kebun karet Pak Usup setelah kutanyai apa maksudnya membuat dangau di tepi jalan. Mendengar jawaban Dewi seperti itu aku langsung diam dan percaya. Mungkin dangau itu dibuat untuk istirahat setelah menyadap karet, atau untuk berteduh jika hujan turun.
Desas-desus pelaku kematian Dewi semakin menggila di kampung. Belum tahu pasti siapa pelaku kebiadaban itu, tapi sepertinya sudah ada nama yang mereka curigai. Orang-orang saling berbisik agar tak semakin ramai, sebab belum ada bukti. Tidak tahu dari mana sumber berita itu mereka dapatkan. Aku sendiripun tidak tahu siapa orang yang mereka maksud.
Malam ke tujuh kematian Dewi orang-orang kembali berkumpul, aku pun ikut berbaur di sana. Setelah semua orang selesai membaca yasin, rupanya dilanjutkan dengan rapat. Itu sudah orang sepakati bersama dua hari yang lalu kata Pak Ngah setelah kutanyai.
“Rapatkan ape, Pak Ngah?"
“Danggarkan jak be,” perintah Pak Ngah tanpa menolehku karena kepala desa sudah bicara membuka rapat. Berbasa-basi dengan kalimat-kalimat seperti kebanyakan rapat-rapat lainnya. Formal sekali.
Dari pembicaraan yang terkesan ditutup-tutupi itu aku mengetahui bahwa rapat tersebut membahas kasus kematian Dewi. Kasus tersebut juga belum dilaporkan ke polisi. Hanya penduduk kampung kami saja yang mengetahui Dewi mati dan diperkosa serta mayatnya yang demikian menggenaskan.
Orang kampung lain hanya mengetahui bahwa ada seorang siswi mati saat pulang sekolah melewati hutan itu, selebihnya mereka tak mengetahui apa-apa. Mungkin karena sebegitu manutnya warga kami dengan Pak Usup, makanya cerita ini hanya tertumpuk di sini. Oh iya, Pak Usup. Ke mana dia? Sudah empat hari ini aku tak melihatnya.
Sebenarnya ingin kutanyakan keberadaan Pak Usup kepada Pak Ngah. Namun, kuurungkan niat itu sebab Pak Ngah langsung bicara, menanggapi apa yang disampaikan kepala desa.
“Battol ye, Pong,” ucap Pak Ngah setuju dengan usulan kepala desa, sambil membuang abu rokoknya.
“Mun daan kite laporkan kalak nganyat. Takutkan anak kite, dek beradek kite kalak yang jadi korban selanjutnye. Bise be diomongkan dengan polisi usah nak ingarkan gilak kejadian itok. Itok bukan masalah kacik, Pong,” sambung Pak Ngah dan ditanggapi dengan anggukan oleh orang-orang, tak terkecuali kepala desa.
Sebulan setelah kesepakatan malam itu, tak ada kabar lagi tentang perkembangan kasus yang tersiar di kampung. Warga mulai bertanya-tanya apakah sudah diketahui pelaku kebiadaban itu? Atau belum ditindaklanjuti? Atau belum dilaporkan sama sekali oleh kepala desa, sebab dia yang menyanggupi untuk melaporkan kasus tersebut ke Polsek di kecamatan.
Pertanyaan-pertanyaan semakin berkeliaran dari mulut ke mulut dan tak seorangpun dari warga mengetahui hal yang ditanya. Bahkan, orang yang ditanya sudah beberapa kali menanyakan hal serupa kepada yang lain. Namun jawabannya nihil. Tak ada yang tahu. Kasus itu bagai mayat Dewi yang ditimbun dengan sengaja dan ditutup sedemikian rapat. Akupun memutuskan bertanya kepada Pak Ngah.
“Ape kabar, Pak Ngah kasus Dewi. Tang bunyi sanyap lalu dah beritenye?”
Sambil meletakkan jerigen racun rumput dan tangki semprot bertuliskan Solo Indonesia dari punggung ringkihnya, “Pak Ngah pun dan tau agek beritenye ye, Ris.”
“Sanyap dibe inyan. Daan suah juak ditanyakkan agek dengan Pak Pong,” sambungnya setelah menenggak air dari botol dan mengipas-ngipaskan topinya.
Pagi ini, Aku dan Pak Ngah duduk di dangau tepi jalan. Minggu pagi ini kuhabiskan untuk membantu ibuku menyadap karet. Sebab, pagi tadi bapak pergi ke pasar membeli pipa paralon untuk mengganti pipa yang pecah di rumah kami.
Ibu memutuskan pulang duluan ketika melihatku asyik ngobrol bersama Pak Ngah di dangau buatan Pak Usup. Tidak disangka, dangau yang beberapa bulan lalu membuatku bertanya-tanya kini jadi tempat istirahat warga ketika selesai menyadap. Aku pun baru tahu bahwa di depan dangau seberang jalan dan parit adalah kebun kami. Aku tidak tahu bahwa orangtuaku telah membeli sepetak kebun karet milik Pak Ngah itu.
Entahlah, mungkin karena aku terlalu nyaman duduk di dangau ini hingga membuatku kembali teringat kepada Pak Usup. Dan tanpa direncanakan pertanyaan spontan keluar dari mulutku.
“Pak Usup ke mane, Ngah. Dah sebulan labeh sean di kampong?”
“Daan tau juak Pak Ngah ye, Ris. Sean dibe abbar beritenye dah sebulan itok.”
Tiba-tiba saja pikiran buruk kembali menggerayangi kepalaku. Ingatan dulu ketika Pak Usup jadi bahan omonganku bersama Dewi tanpa permisi menerobos dan membangunkan ingatan yang tertidur pulas itu.
“Ngah,” ucapku ragu.
“Emmm,” sambil menyulut rokok dibibirnya.
“Daan ke Pak Ngah curige dengan Pak Usup?”
Pandangan Pak Ngah langsung meghunjam ke wajahku setelah mendengar pertanyaan itu. Sekejap ia terdiam. Asap rokoknya semakin mengepul, terbang di atas kepalanya lalu lenyap entah ke mana. Setelah ia menghisap rokoknya, entah sudah yang keberapa, pandangan itu mulai ia buang dari wajahku.
Kali ini tatapan Pak Ngah jauh, melewati lorong, parit dan barisan pohon karet yang bergoyang-goyang. Mungkin juga tatapan Pak Ngah tersesat di antara rimbun karet itu sehingga ia belum menjawab pertanyaanku.
Melihat gelagat Pak Ngah yang tampak enggan menjawab pertanyaanku, segera kualihkan topik pembicaraan.
“Dangar-dangar Ning Ida udah setuju jual tanahnye, Ngah?”
Terlihat Pak Ngah menarik napas dalam lalu menghembuskannya beserta asap rokok yang cepat dilibas angin “Iyelah yang Pak Ngah pikerkan, Ris,” lirih Pak Ngah pelan.
Pak Ngah membentangkan tangan lalu perlahan merebahkan tubuhnya “Uhhh, abislah kabon kite,” ucapnya sambil menguap.
“Ngape dek, Ngah?”
“Soalnye kabon Ning Ida yang paling luas tanahnye. Maok dak maok urang kampong pun bejual kabon juak kalak akhernye. Termasok kite,” suara Pak Ngah sedikit jelas kali ini, ia menolehku dengan senyum berat.
Mendengar itu aku langsung teringat dengan Dewi. Dewi sering bercerita padaku tentang tanah ibunya yang jadi incaran perusahaan sawit. Dan anehnya, kepala desa sering datang ke rumahnya, bahkan terbilang sangat sering, membujuk ibunya agar mau menjual tanah itu. Namun, Dewi sebagai anak tunggal Ning Ida selalu jadi alasan mengapa tanah itu tidak akan dijual.
“Sebenarnye dah karrap Pak Pong datang ke rumah Ning Ida, mujok Ning Ida supaye maok jual tanahnye ke perusahaan iye. Dewi karrap cerite ke aku, Ngah. Katenye Pak Pong rupe makse inyan. Dewi lah yang malar makse umaknye supaye daan jual tanahnye.”
“Pak Pong? Inyan ke ape?”
“Inyan, Ngah. Dewi sorang yang cerite ke aku.”
Setelah itu tak ada tanggapan lagi dari Pak Ngah. Kami sama-sama terdiam. Aku tidak tahu pasti apa yang ada di pikiran Pak Ngah. Namun, dari raut wajah itu, aku tahu ia tengah menyimpan banyak tanda tanya di kepalanya, sekaligus menyimpan kesedihan yang teramat dalam.
Akhirnya kurebahkan juga tubuhku seperti Pak Ngah, menatap kosong langit-langit dangau Pak Usup sambil bertanya-tanya “Siapa sebenarnya pembunuh dan pemerkosa itu?” Sesekali terlintas juga di pikiranku “Apakah ini takdir?”
Laman Literasi Kalbar menerima tulisan berupa puisi, cerpen, resensi & opini. Silakan kirim ke literasikalbar@gmail.com
Ketentuan tulisan bisa baca di Kirim Tulisan
Cerpen tanda tanya pic pixabay |
Tanda Tanya
Malang tak berbau. Perihal takdir kita hanya bisa menjalani. Setiap garis kehidupan maupun kematian telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa. Sebagai hamba kita hanya bisa pasrah terhadap takdir. Selalu bersyukur dan menerima apapun yang telah maupun yang akan terjadi.
Kalimat-kalimat itu selalu kudengar beberapa hari ini dari Pak Usup. Sikap pasrah seperti itu dan kalimat-kalimatnya membuat gendang telingaku terasa pecah setiap kali mendengarnya, kendati ia bicara sangat tenang, bahkan terkesan lemah lembut.
Sebagai orang yang dituakan di kampung tentu kata-katanya mudah diterima oleh warga. Setiap kali ia bicara, suasana akan terasa begitu tenang karena tutur katanya yang mendamaikan. Orang-orang akan banyak diam menyimak dengan baik, manut, bahkan beberapa kali menganggukkan kepala ketika mata Pak Usup yang teduh menatap wajah mereka.
Barangkali, tatapan teduh itu masuk hingga ke dalam mata hati mereka.
Aku pun demikian, tak jarang aku tanpa sadar menganggukan kepala ketika mendengar Pak Usup bicara, walaupun terkadang aku buta dengan maksud yang hendak disampaikannya. Yah, aku rasa atau lebih tepatnya aku pikir, kebiasaan mengangguk tanpa mengerti bukan hanya aku saja yang mengalaminya.
Hampir setiap hari kutemukan teman-temanku mengangguk saat guru mengajar. Apakah mereka paham? Tidak sama sekali. Tanpa disadari, dengan menganggukan kepala tanpa paham makna yang disampaikan adalah suatu tindakan membodohi diri sendiri. Bagaimana mungkin menghindar dari jerat orang lain jika kebiasaan membodohi diri sendiri tetap ditumbuhkembangkan, tetap ditumbuhsuburkan.
Itu sebabnya untuk kali ini aku sama sekali tidak terima buta tentang apa yang disampaikan oleh Pak Usup. Akhirnya kupotong juga ucapannya setelah beberapa menit kami terdiam mendengarkan ceramah darinya itu. Kutanyakan ketidakpahamanku dengan sungguh-sungguh.
“Apeke kejadian macam itok bise dikatekan takder, Pak Long?”
Serentak mata orang-orang menolehku, termasuk Pak Usup. Suasana seketika menjadi sunyi. Hening. Hanya terdengar suara sendok beradu dengan teko dari dapur, itupun terdengar begitu samar. Ah, tampaknya semangat keluarga ini belum juga pulih sehingga mengaduk kopi begitu pelan.
Ya, kopi. Aku tahu itu, sebab belum ada tersedia kopi di hadapan orang-orang seperti biasanya. Dadaku terasa bergemuruh. Aku takut pertanyaan itu dianggap terlalu bodoh untuk diutarakan.
Baca Juga : Matinya Pelayan Kedai Kopi
Cukup lama Pak Usup terdiam. Aku benar-benar tidak tahu membedakan apa itu takdir. Apa bedanya dengan nasib? Jika masalah seperti ini adalah takdir, sungguh malang sekali Dewi. Iya Dewi. Dewi yang mati di hutan tiga hari lalu tanpa mengenakan sehelai benang di tubuhnya.
Ia diperkosa lalu dibunuh begitu saja. Mayatnya ditimbun dengan rerumputan di samping pohon nibung. Seragam sekolahnya juga tergeletak di sana, di bawah rerumputan yang belum terlalu kering. Dan malam ini adalah malam tiga hari kematiannya, orang-orang berkumpul di rumahnya. Membaca Yasin untuknya. Mendoakan ketenangannya di alam sana.
Seketika Pak Usup memecah kesunyian. “Itoklah takder. Kite daan tau dengan ape yang terjadi pade kite. Kematian kite seperti ape, kite pun dak akan tau. Iye dah hukum Allah, ketentuan-Nye. Kite hanye bise pasrah nerimak takder kite."
"Yang panting kite bise ambek pelajaran dari kejadian itok. Masalah itok usah nak kite ingar-ingarkan gilak. Kasian dengan keluargenye. Kasian dengan dek beradeknye. Dan kasian juak dengan almarhum jike diingar-ingarkan tolen. Kalak daan tannang die di sinun,” masih dengan nada tenang sambil sesekali menghisap rokok di tangannya dengan hati-hati, sebab tembakaunya hampir habis dilalap bara api.
Orang-orang masih terdiam. Beberapa yang lain mengangguk pelan. Pak Usup semakin dalam menghisap rokoknya setelah mengatakan itu, lalu memasang kembali sebatang setelah membuang yang sebelumnya ke asbak.
“Sukor Pak Usup cappat naukannye, mun daan dah abis die dimakan binatang, dimakan ulat ape nang andak,” lirih Ning Ida, ibu Dewi, sambil membawa nampan berisi beberapa gelas kopi.
Kerudung panjang berwarna hitam yang ia kenakan tak mampu menyembunyikan bengkak dan merah matanya.
Baca Juga : Pelet Borneo
Ya, untunglah Pak Usup cepat menemukan mayat Dewi tiga hari lalu, jika tidak, mungkin mayat Dewi sudah menjadi tulang-belulang di sana., dimakan ulat atau binatang-binatang liar. Sekali lagi, beruntung ada Pak Usup.
Aku tak lagi bersuara, tidak juga mengangguk mendengar jawaban Pak Usup. Pikiranku entah ke mana. Aku sangat bingung dengan takdir. Bagaimana bisa Tuhan memberi takdir yang begitu buruk pada Dewi.
Lalu, apakah yang memperkosa dan membunuhnya juga ditakdirkan untuk memperkosa dan membunuh? Dan satu hal lagi, apakah Pak Usup juga ditakdirkan untuk menemukan mayat Dewi? Ah, aku semakin bingung. Dan apakah aku yang bingung dengan ini juga ditakdirkan untuk bingung? Entahlah.
Terlepas dari kebingunganku terhadap takdir, pikiranku juga menggerayang pada kelakuan Pak Usup beberapa hari lalu di jalan setapak yang sepi itu. Itu jalan satu-satunya menuju sekolah kami. Jalan sepi serta becek sepanjang hampir dua kilo itu setiap hari kami lewati untuk berangkat dan pulang sekolah. Jalan itu juga digunakan untuk menuju kebun karet warga karena tidak ada jalan lain.
Selama tiga hari berturut-turut kami melihat Pak Usup di tepi jalan sana ketika pulang sekolah. Lokasinya tak jauh dari mayat Dewi ditemukan. Pukul setengah lima sore ia masih saja di sana. Bahkan, sehari kemudian, setelah pertama kali kami melihat Pak Usup di sana, ia sudah selesai membangun satu dangau berdinding papan.
Waktu itu Dewi mengatakan bahwa di belakang dangau itu adalah kebun karet Pak Usup setelah kutanyai apa maksudnya membuat dangau di tepi jalan. Mendengar jawaban Dewi seperti itu aku langsung diam dan percaya. Mungkin dangau itu dibuat untuk istirahat setelah menyadap karet, atau untuk berteduh jika hujan turun.
Baca Juga: Sajak-Sajak Yana
***
Desas-desus pelaku kematian Dewi semakin menggila di kampung. Belum tahu pasti siapa pelaku kebiadaban itu, tapi sepertinya sudah ada nama yang mereka curigai. Orang-orang saling berbisik agar tak semakin ramai, sebab belum ada bukti. Tidak tahu dari mana sumber berita itu mereka dapatkan. Aku sendiripun tidak tahu siapa orang yang mereka maksud.
Malam ke tujuh kematian Dewi orang-orang kembali berkumpul, aku pun ikut berbaur di sana. Setelah semua orang selesai membaca yasin, rupanya dilanjutkan dengan rapat. Itu sudah orang sepakati bersama dua hari yang lalu kata Pak Ngah setelah kutanyai.
“Rapatkan ape, Pak Ngah?"
“Danggarkan jak be,” perintah Pak Ngah tanpa menolehku karena kepala desa sudah bicara membuka rapat. Berbasa-basi dengan kalimat-kalimat seperti kebanyakan rapat-rapat lainnya. Formal sekali.
Dari pembicaraan yang terkesan ditutup-tutupi itu aku mengetahui bahwa rapat tersebut membahas kasus kematian Dewi. Kasus tersebut juga belum dilaporkan ke polisi. Hanya penduduk kampung kami saja yang mengetahui Dewi mati dan diperkosa serta mayatnya yang demikian menggenaskan.
Orang kampung lain hanya mengetahui bahwa ada seorang siswi mati saat pulang sekolah melewati hutan itu, selebihnya mereka tak mengetahui apa-apa. Mungkin karena sebegitu manutnya warga kami dengan Pak Usup, makanya cerita ini hanya tertumpuk di sini. Oh iya, Pak Usup. Ke mana dia? Sudah empat hari ini aku tak melihatnya.
Sebenarnya ingin kutanyakan keberadaan Pak Usup kepada Pak Ngah. Namun, kuurungkan niat itu sebab Pak Ngah langsung bicara, menanggapi apa yang disampaikan kepala desa.
“Battol ye, Pong,” ucap Pak Ngah setuju dengan usulan kepala desa, sambil membuang abu rokoknya.
“Mun daan kite laporkan kalak nganyat. Takutkan anak kite, dek beradek kite kalak yang jadi korban selanjutnye. Bise be diomongkan dengan polisi usah nak ingarkan gilak kejadian itok. Itok bukan masalah kacik, Pong,” sambung Pak Ngah dan ditanggapi dengan anggukan oleh orang-orang, tak terkecuali kepala desa.
Baca Juga : Membaca Buku Kegiatan yang Melelahkan
Sebulan setelah kesepakatan malam itu, tak ada kabar lagi tentang perkembangan kasus yang tersiar di kampung. Warga mulai bertanya-tanya apakah sudah diketahui pelaku kebiadaban itu? Atau belum ditindaklanjuti? Atau belum dilaporkan sama sekali oleh kepala desa, sebab dia yang menyanggupi untuk melaporkan kasus tersebut ke Polsek di kecamatan.
Pertanyaan-pertanyaan semakin berkeliaran dari mulut ke mulut dan tak seorangpun dari warga mengetahui hal yang ditanya. Bahkan, orang yang ditanya sudah beberapa kali menanyakan hal serupa kepada yang lain. Namun jawabannya nihil. Tak ada yang tahu. Kasus itu bagai mayat Dewi yang ditimbun dengan sengaja dan ditutup sedemikian rapat. Akupun memutuskan bertanya kepada Pak Ngah.
“Ape kabar, Pak Ngah kasus Dewi. Tang bunyi sanyap lalu dah beritenye?”
Sambil meletakkan jerigen racun rumput dan tangki semprot bertuliskan Solo Indonesia dari punggung ringkihnya, “Pak Ngah pun dan tau agek beritenye ye, Ris.”
“Sanyap dibe inyan. Daan suah juak ditanyakkan agek dengan Pak Pong,” sambungnya setelah menenggak air dari botol dan mengipas-ngipaskan topinya.
Pagi ini, Aku dan Pak Ngah duduk di dangau tepi jalan. Minggu pagi ini kuhabiskan untuk membantu ibuku menyadap karet. Sebab, pagi tadi bapak pergi ke pasar membeli pipa paralon untuk mengganti pipa yang pecah di rumah kami.
Ibu memutuskan pulang duluan ketika melihatku asyik ngobrol bersama Pak Ngah di dangau buatan Pak Usup. Tidak disangka, dangau yang beberapa bulan lalu membuatku bertanya-tanya kini jadi tempat istirahat warga ketika selesai menyadap. Aku pun baru tahu bahwa di depan dangau seberang jalan dan parit adalah kebun kami. Aku tidak tahu bahwa orangtuaku telah membeli sepetak kebun karet milik Pak Ngah itu.
Entahlah, mungkin karena aku terlalu nyaman duduk di dangau ini hingga membuatku kembali teringat kepada Pak Usup. Dan tanpa direncanakan pertanyaan spontan keluar dari mulutku.
“Pak Usup ke mane, Ngah. Dah sebulan labeh sean di kampong?”
“Daan tau juak Pak Ngah ye, Ris. Sean dibe abbar beritenye dah sebulan itok.”
Tiba-tiba saja pikiran buruk kembali menggerayangi kepalaku. Ingatan dulu ketika Pak Usup jadi bahan omonganku bersama Dewi tanpa permisi menerobos dan membangunkan ingatan yang tertidur pulas itu.
“Ngah,” ucapku ragu.
“Emmm,” sambil menyulut rokok dibibirnya.
“Daan ke Pak Ngah curige dengan Pak Usup?”
Pandangan Pak Ngah langsung meghunjam ke wajahku setelah mendengar pertanyaan itu. Sekejap ia terdiam. Asap rokoknya semakin mengepul, terbang di atas kepalanya lalu lenyap entah ke mana. Setelah ia menghisap rokoknya, entah sudah yang keberapa, pandangan itu mulai ia buang dari wajahku.
Kali ini tatapan Pak Ngah jauh, melewati lorong, parit dan barisan pohon karet yang bergoyang-goyang. Mungkin juga tatapan Pak Ngah tersesat di antara rimbun karet itu sehingga ia belum menjawab pertanyaanku.
Baca Juga : Perjuangan Rakyat Sambas Menentang Penjajah
Melihat gelagat Pak Ngah yang tampak enggan menjawab pertanyaanku, segera kualihkan topik pembicaraan.
“Dangar-dangar Ning Ida udah setuju jual tanahnye, Ngah?”
Terlihat Pak Ngah menarik napas dalam lalu menghembuskannya beserta asap rokok yang cepat dilibas angin “Iyelah yang Pak Ngah pikerkan, Ris,” lirih Pak Ngah pelan.
Pak Ngah membentangkan tangan lalu perlahan merebahkan tubuhnya “Uhhh, abislah kabon kite,” ucapnya sambil menguap.
“Ngape dek, Ngah?”
“Soalnye kabon Ning Ida yang paling luas tanahnye. Maok dak maok urang kampong pun bejual kabon juak kalak akhernye. Termasok kite,” suara Pak Ngah sedikit jelas kali ini, ia menolehku dengan senyum berat.
Mendengar itu aku langsung teringat dengan Dewi. Dewi sering bercerita padaku tentang tanah ibunya yang jadi incaran perusahaan sawit. Dan anehnya, kepala desa sering datang ke rumahnya, bahkan terbilang sangat sering, membujuk ibunya agar mau menjual tanah itu. Namun, Dewi sebagai anak tunggal Ning Ida selalu jadi alasan mengapa tanah itu tidak akan dijual.
“Sebenarnye dah karrap Pak Pong datang ke rumah Ning Ida, mujok Ning Ida supaye maok jual tanahnye ke perusahaan iye. Dewi karrap cerite ke aku, Ngah. Katenye Pak Pong rupe makse inyan. Dewi lah yang malar makse umaknye supaye daan jual tanahnye.”
“Pak Pong? Inyan ke ape?”
“Inyan, Ngah. Dewi sorang yang cerite ke aku.”
Setelah itu tak ada tanggapan lagi dari Pak Ngah. Kami sama-sama terdiam. Aku tidak tahu pasti apa yang ada di pikiran Pak Ngah. Namun, dari raut wajah itu, aku tahu ia tengah menyimpan banyak tanda tanya di kepalanya, sekaligus menyimpan kesedihan yang teramat dalam.
Akhirnya kurebahkan juga tubuhku seperti Pak Ngah, menatap kosong langit-langit dangau Pak Usup sambil bertanya-tanya “Siapa sebenarnya pembunuh dan pemerkosa itu?” Sesekali terlintas juga di pikiranku “Apakah ini takdir?”
Pontianak, 10 Maret 2020
Laman Literasi Kalbar menerima tulisan berupa puisi, cerpen, resensi & opini. Silakan kirim ke literasikalbar@gmail.com
Ketentuan tulisan bisa baca di Kirim Tulisan
Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon