Karya Laila
Disa melirik dari balik bantal surya telah menyapanya. Iatak malu lagi membangunkan Disa tidur setiap hari. Ia tersenyum disudut langit sana melambaikan tangan dan menggelar cinta untuk Disa pagi ini. Disa menggeliat seperti kucing sebelum ia beranjak dari tempat tidur. Membersihkan diri yang kelelahan berlibur selama satu minggu.
Disa mengintip dari tangga melihat Ibunya sibuk menyiapkan sarapan. Bau nasi goreng menusuk hidung hingga Disa terhipnotis untuk turun segera makan. Disa turun berlarian kecil karena tak sanggup ingin melahapnya. Disa duduk tepat di depan nasi goreng dan menyajikannya di piring.
“Joroknya anak Ibu. Cuci muka dulu, Nak. Sikat giginya,” kata Ibu mengambil sendok yang sudah hampir masuk ke mulut Disa.
“Yah, Ibu. Lapar nih,” kata Disa manja.
“Sikat gigi dulu!” Ibu berucap tegas.
Setengah hati Disa beranjak kemudian berlari ke kamar mandi. Disa bergegas membersihkan dirinya agar bisa menikmati nasi goreng dengan puas. Hampir setiap hari menu sarapan di rumah Disa adalah nasi goreng dengan campuran yang berbeda. Namun, ia dengan Ayahnya tidak pernah bosan karena masakan Ibu yang teramat lezat bagi mereka. Tiada banding rasa masakan Ibunya dengan masakan lain. Hal ini yang membuat ia dan Ayahnya tidak sabar ingin cepat pulang bila beraktivitas. Selama liburan Disa merasa hambar dalam makan.Karena tidak ada yang seenak masakan Ibunya. Seharusnya Disa masih di pantai karena waktu liburan masih tersisa dua hari. Tetapi karena rindu dengan masakan Ibunya, membuat Ia pulang lebih awal.
“Ayah…!” Disa cemberut manja ketika mendapati Ayahnya disuapkan oleh Ibunya.
“Siapa yang cepat, dia yang dapat,” kata Ayah Disa seenaknya.
“Disa duluan di sini, Ayah.” Disa cemberut dan duduk membelah antara Ayah dan Ibunya.
“Ya sudah, Ibu suapi keduanya ya,” Ibu Disa tersenyum dan mencium anak semata wayangnya.
Setiap pagi memang sudah pemandangan yang biasa di keluarga Disa. Anak dan Ayah yang berebut untuk disuap. Perebutan ini berakhir dengan canda tawa ceria.Keharmonisan ini membuat rasa sayang dan cinta tumbuh dan berkembang setiap harinya.
Setelah sarapan dan melepas kedua orangtuanya pergi kerja, ia masuk ke kamar dan membuka laptop kesayangannya. Ia buka folder Puri pemberian dari dr.La tiga bulan yang lalu. Dokter spesialis penyakit dalam ini memberikan foto-foto hasil pemeriksaanya. Dibarengai dengan tulisan peringatan. Peringatan agar Disa harus ingat menjaga kesehatannya. Disa lama memandang foto yang berwarna merah pucat memiliki diameter yang lebih besar dari sebelumnya.
Ia menghembuskan napas kuat dan menghempaskan tubuhnya di kasur empuk. Ia tidak menyangka bahwa ini akan lebih cepat dari yang ia kira. Padahal ia sering berolahraga, minum obat teratur, konsultasi, hingga menjalani terapi. Namun nihil, hasilnya tetap saja tidak bisa diprediksi.Harapannya untuk bertahan semakin hari mulai menyusut.
Disa melirik ponselnya yang tiba-tiba berbunyi. Ia membuka layar dan tertulis ”Armi Memanggil”
“Hallo. Assalamualaikum,” kata Disa suara purau.
“Waalaikumussalam. Lagi nangis??” Tanya Armi lembut.
“Nggak kok,” kata Disa berbohong.
“Tunggu ya, jangan kemana-mana. Armi mau ke rumahmu. Assalamualaikum,” kata Armi langsung memutuskan sambungan teleponnya.
Armi adalah sahabat Disa sedari kecil. Mereka saling kenal karena orangtua mereka yang berteman dekat. Hal ini yang membuat Disa dan Armi juga dekat. Sejak Disa sakit, Armi semakin sering ke rumah Disa. Sehingga sudah terbiasa tidur di rumah Disa beberapa hari karena pergi kuliah bersama.
Disa beranjak dari tempat tidurnya turun ke bawah ke ruang olahraga.Ia tidak ingin sakit. Ia bertekad untuk cepat sembuh. Ia tidak ingin membuat kedua orangtuanya pulang larut malam karenanya. Sebelum ia sakit, kedua orangtuanya pulang pukul 17.00 namun karena ia sakit orangtuanya pulang pukul 21.00. Ayah yang bekerja sebagai kepala jasa pembangunan gedung pun memilih untuk lembur agar mendapatkan uang lebih banyak. Ibu yang bekerja sebagai dosen memilih untuk meminta jam tambahan mengajar agar memperoleh gaji lebih besar. Hal ini tidak ingin Disa sia-siakan. Disa ingin mereka bahagia, bukan kelelahan seperti ini.Pulang saat Disa sudah tidur lelap. Tidak sempat berbincang lama layaknya keluarga di luar sana.
Hari liburpun biasanya Ayah manfaatkan untuk bekerja. Ibu memanfaatkan untuk membantu di kantor Ayah. Disa hanya diminta untuk beristirahat di rumah. Kasih sayang dan keharmonisan sebelum Disa sakit tak pernah ia temui sekarang. Saat ini keharmonisan itu hanya ia dapatkan sebelum keluarganya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Namun, sudahlah bagi Disa. Ia bertekad untuk sembuh agar keharmonisan dan kebahagiaan yang tumbuh subur dulu bisa dituai lagi.
***
“Astagfirullah, Disa,” kata Armi yang mendapatkan Disa tergeletak di lantai.
Armi kelagapan membalikan tubuh Disa yang terjatuh tengkurap. Ia mendapati darah yang mengalir hangat dari hidung Disa. Ini menandakan Disa baru saja pingsan. Karena pembantu Disa sedang tidak di rumah, Armi berinisiatif memopong sendiri tubuh Disa ke mobilnya. Dengan susah payah hingga akhirnya Armi melaju ke rumah sakit. Armi tidak kuasa untuk bicara hingga mengirimkan pesan singkat saja ke orangtua Disa. Sesampai di rumah sakit, Disa langsung ditangani.Armi berlarian menuju ruang dr. La. Disa ditangani dengan cepat dan Armi menunggunya di luar.
“Armi, Disa mana?” kata Ibu Disa yang terengah-engah karena berlarian.
Tampak wajah khawatir di sudut matanya.Juga tampak wajah sedih di raut wajahnya.Ibu Disa terduduk menangis menutup wajah dengan kedua tangannya.Ayah Disa mengelus pundak dan mencium kening istrinya meminta untuk lebih sabar dan tenang. Dua puluh satu menit berlalu dr. La keluar.
“Disa baik-baik saja.Saran saya agar dia lebih banyak istirahat, dan jangan banyak pikiran.
“Baik dok,” kata Ibu Disa cepat.
“Dia bisa dibawa pulang hari ini, kondisinya akan cepat membaik.Ia pingsan hanya karena kelelahan. Darah yang keluar itu karena kanker yang diidapnya semakin mengganas. Kami akan berusaha membantu sekuat tenaga kami. Kami berjanji,” kata dr. La tersenyum.
“Apapun dok, lakukan yang terbaik untuk buah hati kami,” kata Ayah Dita menyembunyikan air matanya yang hendak tumpah.
“Baik, Pak. Saya janji,” kata dr. La.
***
“Pelan-pelan, Sayang,” kata Ibu Disa menuntun anaknya turun dari mobil.Setelah itu Disa beranjak untuk tidur.
Disa seharian tidur pulas.Armi yang berada di kamar Disa pun mengusir jenuhnya dengan membuka laptop Disa. Biasanya mereka mengukir puisi bersama kala siang seperti ini. Betapa terkejutnya Armi melihat foto yang tertera di layar laptop Disa. Armi menggelang kepala dan menyimpulkan ini yang menyebabkan Disa banyak pikiran.
Armi menghampiri Disa yang tertidur membelai rambutnya. Ia tatap wajah Disa lekat-lekat. Wajah Disa berubah secara perlahan. Disa yang dulu sehat kini rahangnya mulai tampak. Lingkar matanya yang segar kita tampak menyusut. Tubuh Disa mulai lebih menipis dari biasanya. Armi memberanikan diri mengintip dari balik baju Dita melihat gundukan bulat di dada Disa.
Armi menutup mulutnya sebelum Disa mendengar ia menangis kuat. Namun, Disa sudah terbangun karenanya. Disa memeluk selimut menutupi dadanya. Dada yang hanya bisa dipandang oleh dr. La kini ia rapatkan dengan rapi. Orangtuanya saja tidak mau ia perlihatkan karena tidak ingin ada kesedihan, begitu pula pada Armi.
“Kamu pulang!” Bentak Disa.
Armi yang masih menangispun menunduk berusaha menenangkan perasaanya. Ia tidak mau Disa juga menangis karenanya. Armi berusaha memegang pundak Disa yang sudah berkali-kali Disa tepis tangan Armi.
“Aku nggak malu, Dis. Aku nggak takut, apalagi jijik.”Armi memeluk Disa erat dengan pecah tangis mereka.
“Kita bersahabat, aku sayang kamu karena kamu sahabat aku. Aku bersahabat sama kamu karena kamu baik, bukan karena yang lain. Kamu jangan khawatir aku nggak akan ninggalin kamu hanya karena ini,” kata Armi lagi.
Mereka menangis sambil berpelukan. Disa yang selama ini tertutup dengan bentuk sakitnya pun menyesal dalam menilai Armi. Tanpa mereka sadar, kedua orang tua Disa berada di depan kamar Disa mereka juga menangis karena ketulusan Armi. Mereka tidak ingin mengganggu anaknya di kamar memilih pergi turun ke bawah membawa keterharuan yang baru saja singgah di hati mereka.
***
Sebelum mereka tidur, Armi mengajak Disa untuk berwudu kemudian melaksanakan salat dua rakaat. Disa sudah terbiasa sebelumnya, hanya karena ia sering kelelahan sehingga sudah terbiasa meninggalkannya. Disa terlelap cepat karena Ibu mengaji di sebelahnya. Malam ini Disa tak sediri karena Armi menemaninya.
Disa terbangun pukul 04.07 pagi.Ia merasa tubuhnya sangat sakit. Payudaranya juga sakit seperti di sayat pisau. Ia memegang tangan Armi hingga terbangun. Armi yang panik melepaskan genggaman Disa dan berhambur keluar memanggil orangtua Disa. Mereka yang sudah terjaga dari pukul 02.30 untuk memanjatkan doa pada Yang Maha Penyembuh pun secepat kilat berlarian ke atas menuju kamar Dita.
Melihat Dita seperti itu, mereka melarikan ke rumah sakit. Derai air mata bercucuran deras. Disa muntah darah, baju Armi dan Ibunya sudah basah karena darah yang dimuntahkan begitu banyak. Hidungnya mengalir darah hangat dan segar, tangannya mulai mendingin dan mukanya pucat pasi.
Sesampai di rumah sakit dengan sigap dr. La yang juga datang bersamaan pun membantu dengan tulus. Padahal ia tidak ada jadwal di rumah sakit hari ini. Dita dibawa masuk ke iccu setelah ditangani di ugd. Armi yang sedari tadi memegang tangan Disa pun harus rela ia lepas.
***
Pagi ini terasa mendung walaupun diufuk timur sudut langit surya senantiasa menyapa Disa hangat. Dunia terasa berbeda.Pagi ini tidak ada tangan jahil Disa yang menyumbat hidung Armi agar bangun. Tidak ada kaki jahil yang mencubit menggunakan ibu jari kakinya yang kuat membuat Armi selalu menjerit kesakitan. Pagi ini juga tidak ada berita kehilangan handuk karena tangan Disa dengan sengaja menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Semua tidak ada pagi ini.
Sudah tiga jam Disa belum sadar. Entah mengapa Armi ingin sekali melihat Disa pagi ini. Rindu dengan kenakalan yang Disa buat setiap pagi. Disa melirik jam besuk pukul 09.30. Ia keluar dari rumah sakit untuk mencari sarapan sendiri untuk mengusir rasa sedihnya.
Pukul 09.30 ia masuk lagi hendak melihat sahabatnya. ia tertahan di depan pintu ketika melihat keduaorangtua Disa yang menangis sesegukan. Ia mengurungkan niat untuk masuk. Setelah orangtua Disa keluar, ia pun masuk dengan senyum terbaik ketika mereka bersama.
“Assalamualaikum, Disa. Lagi apa?” kata Armi tersenyum.
Hening tidak ada jawaban.
“Dis, aku kangen banget sama kamu. Aku bangun tidur, biasanya ada kamu yang jahil sama aku. Aku enggan bangun jadinya menunggu jahilan kamu, eh aku lupa kita lagi nggak tidur sama-sama,” kata Armi mulai menangis.
“Cepat sadar dong dari koma, kamu tega cuekin aku.”Armi menggoyang tubuh Disa.Tanpa suara yang terdengr hanya sesegukan suara Armi yang menangis.
Tiga minggu berlalu Disa tidak juga ada perubahan. Orangtua Disa sudah sibuk dengan kerjanya, Armi sibuk dengan kuliahnya. Ketika mereka selesai beraktivitas maka ke rumah sakit adalah pilihan utama. Armi lebih sering di rumah sakit menjaga Disa. Setiap jam besuk Armi selalu menjadi orang pertama yang menemui Disa.
“Armi, si kelinci jelek,” kata Disa yang tak bisa didengar oleh siapapun.
“Disa, aku hari ini free.Aku nggak kuliah. Aku demam, Dis. Kangen sama kamu. Coba deh kamu rasain kening aku, panaskan??” kata Armi sembari mengangkat tangan Disa untuk menjamah keningnya. Lagi-lagi ia menangis karena sedih. Armi ingin berteriak sekuatnya agar Disa bisa sadar bersama lagi seperti biasanya.
“Jangan menangis, Mi. Aku dengar kamu kok.Aku lihat kamu sekarang, jangan menangis, Sayang.Maafin aku ya, gara-gara aku kamu demam. Aku juga kangen banget kok sama kamu. Sumpah kali ini aku nggak bercanda.” Lirih Disa yang siapapun tidak akan mendengarnya.
“Dis, sebentar lagi waktu besuk habis. Kamu cepat sembuh ya, aku kangen banget sama kamu. Kita ke Mall lagi, ke kolam renang lagi, seru-seruan lagi ya. Jangan lama-lama di sini. Kamu nggak takut apa? Di sini tu seram.”Armi bicara seenaknya.
“Jangan pergi dulu, Mi. Aku kangen.”
Namun, Armi harus keluar dan menunggu Disa dari luar.
“Mi… terima kasih, Sayang.Terima kasih selalu bersamaku. Aku tahu kok kamu lagi intip aku di bali pintu, kamu pasti nggak mau keluar. Aku janji cepat sembuh.Jangan sedih ya. Titip salam buat Ibu dan Ayahku. Aku sayang mereka.” Disa tersenyum yang tak bisa dilihat oleh siapapun.
Armi mengintip di kaca pintu mengusap air matanya yang terus jatuh. Ia beralih menuju ruang tunggu untuk beristirahat dan menanti kedatangan kedua orang tua Disa. Armi meraih ponselnya yang begetar lama di dalam sakunya. Ia mendapatkan pesan dari Ibu Disa bahwa tidak bisa hadir menemui Disa.
Armi berinisiatif untuk masuk walaupun tubuhnya begetar dan hampir tak bertenaga. Ia mendekati Disa dan mencium kening Disa.
“Disa, sayang.Aku izin pulang sebentar ya, Ayahmu meninggal tertimpa reruntuhan bangunan yang ia buat. Maaf kan aku, Sayang. Aku harus pulang.” Armi mengelus rambut Disa lembut sebelum meninggalkannya.
Disa yang mendengarnya menitikan air mata. Secara jelas tampak membekas di tepian matanya. Namun, Armi telah memilih keluar lebih cepat. Hati Disa bagai tersayat-sayat, jantungnya berdetak seribu kali lebih cepat. Ia ingin sekali melihat Ayahnya. Namun keadaan ini membuat ia harus berdamai dengan hatinya.
Pada waktu yang Allah tentukan Disa dinyatakan sadar oleh dr. La. Armi yang berada di ruang tunggu dengan cepat berhambur masuk bersama Ibu Disa. Disa bisa memandang cerahpun, hanya bisa tersenyum.
Dokter La berpesan untuk terus memperhatikan Disa lebih intensif dan mengontrol kesehatannya secara teratur. Dita belum bisa berucap, ucapannya tidak bisa didengar oleh siapapun.
“Apapun keadaanmu sekarang.Kita tetap bersahabat. Aku janji akan mengukir hari-hari yang membuat kita merasa di syurga.” Armi tertawa lepas.
Disa duduk memandang jingga yang sebentar lagi pulang keperaduannya. Malam yang teramat indah Allah ciptakan, doa yang selalu Disa panjatkan untuk bisa tidur bersama Armi lagi. Namun, nikmat Allah lebih dari itu. Malam ini mereka tidur bertiga. Disa diapit oleh orang yang sangat berarti di hidupnya.
“Terima kasih ya Allah. Izinkan aku untuk merasakan ini lebih lama,” Disa berkata dalam hati dan tersenyum memulai berlayar bersama kedua nahkodanya yang selalu sabar dan setia bersamanya.
“Aku sayang kalian, Armi, Ibu dan Ayah.”
"Armi yang masih menangispun menunduk berusaha menenangkan perasaanya. Ia tidak mau Disa juga menangis karenanya. Armi berusaha memegang pundak Disa yang sudah berkali-kali Disa tepis tangan Armi."
pixabay.com |
Disa mengintip dari tangga melihat Ibunya sibuk menyiapkan sarapan. Bau nasi goreng menusuk hidung hingga Disa terhipnotis untuk turun segera makan. Disa turun berlarian kecil karena tak sanggup ingin melahapnya. Disa duduk tepat di depan nasi goreng dan menyajikannya di piring.
“Joroknya anak Ibu. Cuci muka dulu, Nak. Sikat giginya,” kata Ibu mengambil sendok yang sudah hampir masuk ke mulut Disa.
“Yah, Ibu. Lapar nih,” kata Disa manja.
“Sikat gigi dulu!” Ibu berucap tegas.
Setengah hati Disa beranjak kemudian berlari ke kamar mandi. Disa bergegas membersihkan dirinya agar bisa menikmati nasi goreng dengan puas. Hampir setiap hari menu sarapan di rumah Disa adalah nasi goreng dengan campuran yang berbeda. Namun, ia dengan Ayahnya tidak pernah bosan karena masakan Ibu yang teramat lezat bagi mereka. Tiada banding rasa masakan Ibunya dengan masakan lain. Hal ini yang membuat ia dan Ayahnya tidak sabar ingin cepat pulang bila beraktivitas. Selama liburan Disa merasa hambar dalam makan.Karena tidak ada yang seenak masakan Ibunya. Seharusnya Disa masih di pantai karena waktu liburan masih tersisa dua hari. Tetapi karena rindu dengan masakan Ibunya, membuat Ia pulang lebih awal.
“Ayah…!” Disa cemberut manja ketika mendapati Ayahnya disuapkan oleh Ibunya.
“Siapa yang cepat, dia yang dapat,” kata Ayah Disa seenaknya.
“Disa duluan di sini, Ayah.” Disa cemberut dan duduk membelah antara Ayah dan Ibunya.
“Ya sudah, Ibu suapi keduanya ya,” Ibu Disa tersenyum dan mencium anak semata wayangnya.
Setiap pagi memang sudah pemandangan yang biasa di keluarga Disa. Anak dan Ayah yang berebut untuk disuap. Perebutan ini berakhir dengan canda tawa ceria.Keharmonisan ini membuat rasa sayang dan cinta tumbuh dan berkembang setiap harinya.
Baca Juga: Sastawan di Imaji Kalbar
Setelah sarapan dan melepas kedua orangtuanya pergi kerja, ia masuk ke kamar dan membuka laptop kesayangannya. Ia buka folder Puri pemberian dari dr.La tiga bulan yang lalu. Dokter spesialis penyakit dalam ini memberikan foto-foto hasil pemeriksaanya. Dibarengai dengan tulisan peringatan. Peringatan agar Disa harus ingat menjaga kesehatannya. Disa lama memandang foto yang berwarna merah pucat memiliki diameter yang lebih besar dari sebelumnya.
Ia menghembuskan napas kuat dan menghempaskan tubuhnya di kasur empuk. Ia tidak menyangka bahwa ini akan lebih cepat dari yang ia kira. Padahal ia sering berolahraga, minum obat teratur, konsultasi, hingga menjalani terapi. Namun nihil, hasilnya tetap saja tidak bisa diprediksi.Harapannya untuk bertahan semakin hari mulai menyusut.
Disa melirik ponselnya yang tiba-tiba berbunyi. Ia membuka layar dan tertulis ”Armi Memanggil”
“Hallo. Assalamualaikum,” kata Disa suara purau.
“Waalaikumussalam. Lagi nangis??” Tanya Armi lembut.
“Nggak kok,” kata Disa berbohong.
“Tunggu ya, jangan kemana-mana. Armi mau ke rumahmu. Assalamualaikum,” kata Armi langsung memutuskan sambungan teleponnya.
Armi adalah sahabat Disa sedari kecil. Mereka saling kenal karena orangtua mereka yang berteman dekat. Hal ini yang membuat Disa dan Armi juga dekat. Sejak Disa sakit, Armi semakin sering ke rumah Disa. Sehingga sudah terbiasa tidur di rumah Disa beberapa hari karena pergi kuliah bersama.
Disa beranjak dari tempat tidurnya turun ke bawah ke ruang olahraga.Ia tidak ingin sakit. Ia bertekad untuk cepat sembuh. Ia tidak ingin membuat kedua orangtuanya pulang larut malam karenanya. Sebelum ia sakit, kedua orangtuanya pulang pukul 17.00 namun karena ia sakit orangtuanya pulang pukul 21.00. Ayah yang bekerja sebagai kepala jasa pembangunan gedung pun memilih untuk lembur agar mendapatkan uang lebih banyak. Ibu yang bekerja sebagai dosen memilih untuk meminta jam tambahan mengajar agar memperoleh gaji lebih besar. Hal ini tidak ingin Disa sia-siakan. Disa ingin mereka bahagia, bukan kelelahan seperti ini.Pulang saat Disa sudah tidur lelap. Tidak sempat berbincang lama layaknya keluarga di luar sana.
Hari liburpun biasanya Ayah manfaatkan untuk bekerja. Ibu memanfaatkan untuk membantu di kantor Ayah. Disa hanya diminta untuk beristirahat di rumah. Kasih sayang dan keharmonisan sebelum Disa sakit tak pernah ia temui sekarang. Saat ini keharmonisan itu hanya ia dapatkan sebelum keluarganya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Namun, sudahlah bagi Disa. Ia bertekad untuk sembuh agar keharmonisan dan kebahagiaan yang tumbuh subur dulu bisa dituai lagi.
Baca Juga: Sajak Cinta Real Teguh
***
“Astagfirullah, Disa,” kata Armi yang mendapatkan Disa tergeletak di lantai.
Armi kelagapan membalikan tubuh Disa yang terjatuh tengkurap. Ia mendapati darah yang mengalir hangat dari hidung Disa. Ini menandakan Disa baru saja pingsan. Karena pembantu Disa sedang tidak di rumah, Armi berinisiatif memopong sendiri tubuh Disa ke mobilnya. Dengan susah payah hingga akhirnya Armi melaju ke rumah sakit. Armi tidak kuasa untuk bicara hingga mengirimkan pesan singkat saja ke orangtua Disa. Sesampai di rumah sakit, Disa langsung ditangani.Armi berlarian menuju ruang dr. La. Disa ditangani dengan cepat dan Armi menunggunya di luar.
“Armi, Disa mana?” kata Ibu Disa yang terengah-engah karena berlarian.
Tampak wajah khawatir di sudut matanya.Juga tampak wajah sedih di raut wajahnya.Ibu Disa terduduk menangis menutup wajah dengan kedua tangannya.Ayah Disa mengelus pundak dan mencium kening istrinya meminta untuk lebih sabar dan tenang. Dua puluh satu menit berlalu dr. La keluar.
“Disa baik-baik saja.Saran saya agar dia lebih banyak istirahat, dan jangan banyak pikiran.
“Baik dok,” kata Ibu Disa cepat.
“Dia bisa dibawa pulang hari ini, kondisinya akan cepat membaik.Ia pingsan hanya karena kelelahan. Darah yang keluar itu karena kanker yang diidapnya semakin mengganas. Kami akan berusaha membantu sekuat tenaga kami. Kami berjanji,” kata dr. La tersenyum.
“Apapun dok, lakukan yang terbaik untuk buah hati kami,” kata Ayah Dita menyembunyikan air matanya yang hendak tumpah.
“Baik, Pak. Saya janji,” kata dr. La.
***
“Pelan-pelan, Sayang,” kata Ibu Disa menuntun anaknya turun dari mobil.Setelah itu Disa beranjak untuk tidur.
Disa seharian tidur pulas.Armi yang berada di kamar Disa pun mengusir jenuhnya dengan membuka laptop Disa. Biasanya mereka mengukir puisi bersama kala siang seperti ini. Betapa terkejutnya Armi melihat foto yang tertera di layar laptop Disa. Armi menggelang kepala dan menyimpulkan ini yang menyebabkan Disa banyak pikiran.
Armi menghampiri Disa yang tertidur membelai rambutnya. Ia tatap wajah Disa lekat-lekat. Wajah Disa berubah secara perlahan. Disa yang dulu sehat kini rahangnya mulai tampak. Lingkar matanya yang segar kita tampak menyusut. Tubuh Disa mulai lebih menipis dari biasanya. Armi memberanikan diri mengintip dari balik baju Dita melihat gundukan bulat di dada Disa.
Armi menutup mulutnya sebelum Disa mendengar ia menangis kuat. Namun, Disa sudah terbangun karenanya. Disa memeluk selimut menutupi dadanya. Dada yang hanya bisa dipandang oleh dr. La kini ia rapatkan dengan rapi. Orangtuanya saja tidak mau ia perlihatkan karena tidak ingin ada kesedihan, begitu pula pada Armi.
“Kamu pulang!” Bentak Disa.
Armi yang masih menangispun menunduk berusaha menenangkan perasaanya. Ia tidak mau Disa juga menangis karenanya. Armi berusaha memegang pundak Disa yang sudah berkali-kali Disa tepis tangan Armi.
“Aku nggak malu, Dis. Aku nggak takut, apalagi jijik.”Armi memeluk Disa erat dengan pecah tangis mereka.
“Kita bersahabat, aku sayang kamu karena kamu sahabat aku. Aku bersahabat sama kamu karena kamu baik, bukan karena yang lain. Kamu jangan khawatir aku nggak akan ninggalin kamu hanya karena ini,” kata Armi lagi.
Mereka menangis sambil berpelukan. Disa yang selama ini tertutup dengan bentuk sakitnya pun menyesal dalam menilai Armi. Tanpa mereka sadar, kedua orang tua Disa berada di depan kamar Disa mereka juga menangis karena ketulusan Armi. Mereka tidak ingin mengganggu anaknya di kamar memilih pergi turun ke bawah membawa keterharuan yang baru saja singgah di hati mereka.
Baca Juga: Biografi Yusakh Ananda
***
Sebelum mereka tidur, Armi mengajak Disa untuk berwudu kemudian melaksanakan salat dua rakaat. Disa sudah terbiasa sebelumnya, hanya karena ia sering kelelahan sehingga sudah terbiasa meninggalkannya. Disa terlelap cepat karena Ibu mengaji di sebelahnya. Malam ini Disa tak sediri karena Armi menemaninya.
Disa terbangun pukul 04.07 pagi.Ia merasa tubuhnya sangat sakit. Payudaranya juga sakit seperti di sayat pisau. Ia memegang tangan Armi hingga terbangun. Armi yang panik melepaskan genggaman Disa dan berhambur keluar memanggil orangtua Disa. Mereka yang sudah terjaga dari pukul 02.30 untuk memanjatkan doa pada Yang Maha Penyembuh pun secepat kilat berlarian ke atas menuju kamar Dita.
Melihat Dita seperti itu, mereka melarikan ke rumah sakit. Derai air mata bercucuran deras. Disa muntah darah, baju Armi dan Ibunya sudah basah karena darah yang dimuntahkan begitu banyak. Hidungnya mengalir darah hangat dan segar, tangannya mulai mendingin dan mukanya pucat pasi.
Sesampai di rumah sakit dengan sigap dr. La yang juga datang bersamaan pun membantu dengan tulus. Padahal ia tidak ada jadwal di rumah sakit hari ini. Dita dibawa masuk ke iccu setelah ditangani di ugd. Armi yang sedari tadi memegang tangan Disa pun harus rela ia lepas.
***
Pagi ini terasa mendung walaupun diufuk timur sudut langit surya senantiasa menyapa Disa hangat. Dunia terasa berbeda.Pagi ini tidak ada tangan jahil Disa yang menyumbat hidung Armi agar bangun. Tidak ada kaki jahil yang mencubit menggunakan ibu jari kakinya yang kuat membuat Armi selalu menjerit kesakitan. Pagi ini juga tidak ada berita kehilangan handuk karena tangan Disa dengan sengaja menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Semua tidak ada pagi ini.
Sudah tiga jam Disa belum sadar. Entah mengapa Armi ingin sekali melihat Disa pagi ini. Rindu dengan kenakalan yang Disa buat setiap pagi. Disa melirik jam besuk pukul 09.30. Ia keluar dari rumah sakit untuk mencari sarapan sendiri untuk mengusir rasa sedihnya.
Pukul 09.30 ia masuk lagi hendak melihat sahabatnya. ia tertahan di depan pintu ketika melihat keduaorangtua Disa yang menangis sesegukan. Ia mengurungkan niat untuk masuk. Setelah orangtua Disa keluar, ia pun masuk dengan senyum terbaik ketika mereka bersama.
“Assalamualaikum, Disa. Lagi apa?” kata Armi tersenyum.
Hening tidak ada jawaban.
“Dis, aku kangen banget sama kamu. Aku bangun tidur, biasanya ada kamu yang jahil sama aku. Aku enggan bangun jadinya menunggu jahilan kamu, eh aku lupa kita lagi nggak tidur sama-sama,” kata Armi mulai menangis.
“Cepat sadar dong dari koma, kamu tega cuekin aku.”Armi menggoyang tubuh Disa.Tanpa suara yang terdengr hanya sesegukan suara Armi yang menangis.
Tiga minggu berlalu Disa tidak juga ada perubahan. Orangtua Disa sudah sibuk dengan kerjanya, Armi sibuk dengan kuliahnya. Ketika mereka selesai beraktivitas maka ke rumah sakit adalah pilihan utama. Armi lebih sering di rumah sakit menjaga Disa. Setiap jam besuk Armi selalu menjadi orang pertama yang menemui Disa.
“Armi, si kelinci jelek,” kata Disa yang tak bisa didengar oleh siapapun.
“Disa, aku hari ini free.Aku nggak kuliah. Aku demam, Dis. Kangen sama kamu. Coba deh kamu rasain kening aku, panaskan??” kata Armi sembari mengangkat tangan Disa untuk menjamah keningnya. Lagi-lagi ia menangis karena sedih. Armi ingin berteriak sekuatnya agar Disa bisa sadar bersama lagi seperti biasanya.
“Jangan menangis, Mi. Aku dengar kamu kok.Aku lihat kamu sekarang, jangan menangis, Sayang.Maafin aku ya, gara-gara aku kamu demam. Aku juga kangen banget kok sama kamu. Sumpah kali ini aku nggak bercanda.” Lirih Disa yang siapapun tidak akan mendengarnya.
“Dis, sebentar lagi waktu besuk habis. Kamu cepat sembuh ya, aku kangen banget sama kamu. Kita ke Mall lagi, ke kolam renang lagi, seru-seruan lagi ya. Jangan lama-lama di sini. Kamu nggak takut apa? Di sini tu seram.”Armi bicara seenaknya.
“Jangan pergi dulu, Mi. Aku kangen.”
Namun, Armi harus keluar dan menunggu Disa dari luar.
“Mi… terima kasih, Sayang.Terima kasih selalu bersamaku. Aku tahu kok kamu lagi intip aku di bali pintu, kamu pasti nggak mau keluar. Aku janji cepat sembuh.Jangan sedih ya. Titip salam buat Ibu dan Ayahku. Aku sayang mereka.” Disa tersenyum yang tak bisa dilihat oleh siapapun.
Armi mengintip di kaca pintu mengusap air matanya yang terus jatuh. Ia beralih menuju ruang tunggu untuk beristirahat dan menanti kedatangan kedua orang tua Disa. Armi meraih ponselnya yang begetar lama di dalam sakunya. Ia mendapatkan pesan dari Ibu Disa bahwa tidak bisa hadir menemui Disa.
Armi berinisiatif untuk masuk walaupun tubuhnya begetar dan hampir tak bertenaga. Ia mendekati Disa dan mencium kening Disa.
“Disa, sayang.Aku izin pulang sebentar ya, Ayahmu meninggal tertimpa reruntuhan bangunan yang ia buat. Maaf kan aku, Sayang. Aku harus pulang.” Armi mengelus rambut Disa lembut sebelum meninggalkannya.
Disa yang mendengarnya menitikan air mata. Secara jelas tampak membekas di tepian matanya. Namun, Armi telah memilih keluar lebih cepat. Hati Disa bagai tersayat-sayat, jantungnya berdetak seribu kali lebih cepat. Ia ingin sekali melihat Ayahnya. Namun keadaan ini membuat ia harus berdamai dengan hatinya.
Pada waktu yang Allah tentukan Disa dinyatakan sadar oleh dr. La. Armi yang berada di ruang tunggu dengan cepat berhambur masuk bersama Ibu Disa. Disa bisa memandang cerahpun, hanya bisa tersenyum.
Dokter La berpesan untuk terus memperhatikan Disa lebih intensif dan mengontrol kesehatannya secara teratur. Dita belum bisa berucap, ucapannya tidak bisa didengar oleh siapapun.
“Apapun keadaanmu sekarang.Kita tetap bersahabat. Aku janji akan mengukir hari-hari yang membuat kita merasa di syurga.” Armi tertawa lepas.
Disa duduk memandang jingga yang sebentar lagi pulang keperaduannya. Malam yang teramat indah Allah ciptakan, doa yang selalu Disa panjatkan untuk bisa tidur bersama Armi lagi. Namun, nikmat Allah lebih dari itu. Malam ini mereka tidur bertiga. Disa diapit oleh orang yang sangat berarti di hidupnya.
“Terima kasih ya Allah. Izinkan aku untuk merasakan ini lebih lama,” Disa berkata dalam hati dan tersenyum memulai berlayar bersama kedua nahkodanya yang selalu sabar dan setia bersamanya.
“Aku sayang kalian, Armi, Ibu dan Ayah.”
Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon