Cerpen Fitri Noviani
NAMAKU Bella. Usiaku 25 tahun. Aku seorang dokter, tubuhku proporsional, jago bikin kue dan suara juga merdu. Semua kriteria istri idaman ada didiriku. Kata orang, sih. Namun, aku bukan tipe perempuan yang mudah jatuh cinta. Karena itulah selama ini banyak cowok-cowok yang mengincarku untuk dijadikan pacar, tetapi tidak ada satupun kugubris semua perhatian cowok-cowok itu. Hingga akhirnya cowok-cowok itu menyerah mendekatiku. Namun, pertemuan tak sengaja dengan arsitek bernama Adrie mampu meluluhkan dinginnya hatiku terhadap pria, dan mulai saat itu aku mulai membuka hati.
*
Enam bulan sudah aku menjadi pacar Adrie. Selama mengenal Adrie aku merasa sangat nyambung komunikasi dengannya. Selain itu, Adrie adalah sosok pria yang perhatian dan sabar. Itu menjadi alasanku klik dengannya.
“Bel, aku rasa dalam waktu enam bulan ini kita sudah mulai cukup saling mengenal. Aku mantap menghabiskan sisa hidupku bareng kamu," ujar Adrie tiba-tiba saat kami tengah kencan di pantai.
Aku melepas pegangan tangan Adrie. Kaget.
“Aku serius, Bel,” kata Adrie lagi.
Aku masih diam saja. Bengong.
“Bel…"
“Sebelumnya ada hal yang perlu kamu tahu tentang aku, Drie. Aku mau nikah sama kamu, kita hidup sama-sama, tapi hanya kita berdua.”
“Maksud kamu?" tanya Adrie tak mengerti.
“Drie, setelah kita nikah nanti, aku ngga mau hamil dan melahirkan, karena bagiku membangun keluarga bahagia itu tidak harus dengan memiliki anak, kalau tujuan kamu menikah untuk punya anak, aku ngga bisa. Maaf.”
Adrie terdiam saat itu, aku Juga diam. Hening. Hingga akhirnya Adrie berkata, “aku butuh waktu untuk berpikir."
*
Sore itu, sepulang sekolah dari klinik setelah seharian . praktik. Tepat seminggu setelah kejadian di pantai, kulihat Adrie sudah menunggu di depan pintu rumahku. Cepat-cepat aku turun dari mobil dan segera menghampirinya.
“Hai," sapa Adrie. Ternyata , sapaan itu masih membuat . jantungku berdetak tak karuan.
“Hai," jawabku pendek.
“Bel, aku sudah memikirkannya matang-matang, aku sadar. Akuteramat sangat mencintaimu. Aku . mau terima kamu apa adanya.
Aku ngga akan pernah menuntut . . kamu untuk hamil. Jadi, sekali . lagi aku melamarmu. Maukah kau menikah denganku?" tanya Adrie sambil berlutut dan memegang buket bunga tulip kesukaanku.
“Aku mau menikah sama kamu, Drie. Aku cinta kamu juga.”
Kupeluk Adrie erat.
*
Akhirnya kami menikah sebulan . kemudian. Tak ada pesta mewah. Hanya kerabat dan sahabat dekat yang diundang. kami bahagia. Adrie tak pernah sekalipun membahas tentang anak. Ia juga tidak pernah membantah ketika aku memintanya menggunakan alat kontrasepsi.
Semua berjalan lancar. Hingga suatu pagi tepat tiga bulan setelah kami menikah. Aku POSITIF HAMIL!
“Aku ngga mau hamil. Kita kan sudah bersepakat supaya aku jangan sampai hamil. Tapi kenapa sekarang aku bisa hamil, Drie?" kataku saat kami selesai sarapan.
“Ya, namanya juga kontrasepsi, secanggih apapun ngga ada yang seratus persen akurat. Iadi masih ada kemungkinan terjadi pembuahan. Kamu kenapa sih takut banget hamil? Toh, kita sudah suami istri, ngga dosa. Harusnya kita bersyukur sebentar lagi akan jadi orang tua.”
“Aku tetap ngga mau hamil. Aku ngga bisa. Mending gugurin aja!"
“Astaghfirullah, Keterlaluan kamu. Harusnya kamu bersyukur. Banyak perempuan lain yang ingin banget hamil, tapi ngga bisa. Toh, selama ini aku udah berusaha ngertiin kamu, terus kalau sekarang kamu hamil berarti udah kehendak Tuhan.”
Aku terdiam. Adrie benar-benar marah. Selama ini Adrie tak pernah sekalipun bicara nada tinggi kepadaku. Adrie langsung pergi meninggalkan rumah tanpa mencium keningku seperti biasa. Sementara aku masih terduduk, bingung harus berbuat apa.
Sejak hari itu, rumah tangga kami berantakan. Adrie benar-benar marah padaku. Kami hanya bicara seperlunya. Tak ada lagi kemesraan. Kehamilanku dan pertengkaran ini benar-benar membuatku tak nyaman. Adrie tak pernah benar-benar tahu alasanku tak menginginkan kehamilan ini, sebatas yang ia tahu hanya aku tidak siap hamil. Aku harus ' memberitahu sebuah rahasia pada Adrie agar masalah ini cepat selesai. Kutulis sepucuk surat untuknya.
Adrie, suamiku.
Kemarin aku periksa ke dokter kandungan, kehamilanku sudah memasuki minggu kedelapan. Sebenarnya alasanku ngga mau hamil bukan hanya karena aku ngga siap. Aku sebenarnya memiliki trauma mendalam dengan kehamilan. Awalnya aku ingin merahasiakan hal ini padamu, karena aku ngga mau terlihat lemah di matamu. Setelah kupikir, sekarang aku istrimu dan sedang mengandung anakmu, jadi aku merasa wajib memberitahumu.
Drie, 15 tahun lalu, mamaku meninggal ketika melahirkan adikku. Mereka tak bisa diselamatkan. Dan semenjak itu, papaku sakit-sakitan dan setahun setelah mama pergi, papa juga pergi. Semenjak kejadian itu, aku sangat membenci kata hamil dan melahirkan, karena hal itulah yang kuanggap merenggut semua kebahagiaanku secara tiba-tiba, dan sejak itu aku tinggal di panti asuhan.
Maaf, aku memberitahu hal sepenting ini padamu hanya lewat surat, karena sungguh aku tak sanggup menatap matamu yang . masih menyimpan marah padaku. Kuharap kamu mengerti.
Istri yang selalu mencintaimu, Bella.
*
Sejak Adrie membaca suratku, hubungan kami kembali harmonis. Adrie sangat sabar menghadapi tingkahku. Adrie tak pernah absen menemaniku ke dokter kandungan. Selain itu, Adrie juga setia menemani konsultasi ke psikolog untuk membantu menghilangkan rasa traumaku. Demi Adrie dan janin yang sedang kukandung, aku bertekad menghilangkan trauma ini. Secara perlahan mulai muncul rasa sayang pada janin yang kukandung. Rasa sayang yang sungguh istimewa.
*
Kini, aku sudah resmi menjadi ibu. Rasa trauma itu benarbenar sudah hilang. Ternyata mempunyai anak menjadi kebahagiaan tak terhingga bagiku. Aku bersyukur diberi kesempatan menjadi ibu. Sungguh aku menyesal pernah berpikir untuk menggugurkannya.
“Terima kasih sudah amat sabar menghadapi sikapku selama ini, Drie," ucapku sambil mencium punggung tangan Adrie, suamiku.
“Aku yakin kamu akan jadi mama terbaik untuk putri kita," jawab Adrie sambil mengelus rambutku.
Aku memeluk Adrie dan bayiku erat.
Terima kasih Tuhan untuk semua anugerah yang engkau berikan padaku. Aku janji akan kujaga dengan baik.
Cerpen pernah terbit di Pontianak Post pada Minggu, 8 September 2019
Hamil dan melahirkan. Dua hal yang paling aku takuti di dunia ini. Bukannya aku menolak kodrat sebagai perempuan. Tetapi dua hal tersebut membuat trauma dan merenggut semua kebahagiaanku.
Sebuah rahasia |
NAMAKU Bella. Usiaku 25 tahun. Aku seorang dokter, tubuhku proporsional, jago bikin kue dan suara juga merdu. Semua kriteria istri idaman ada didiriku. Kata orang, sih. Namun, aku bukan tipe perempuan yang mudah jatuh cinta. Karena itulah selama ini banyak cowok-cowok yang mengincarku untuk dijadikan pacar, tetapi tidak ada satupun kugubris semua perhatian cowok-cowok itu. Hingga akhirnya cowok-cowok itu menyerah mendekatiku. Namun, pertemuan tak sengaja dengan arsitek bernama Adrie mampu meluluhkan dinginnya hatiku terhadap pria, dan mulai saat itu aku mulai membuka hati.
*
Enam bulan sudah aku menjadi pacar Adrie. Selama mengenal Adrie aku merasa sangat nyambung komunikasi dengannya. Selain itu, Adrie adalah sosok pria yang perhatian dan sabar. Itu menjadi alasanku klik dengannya.
“Bel, aku rasa dalam waktu enam bulan ini kita sudah mulai cukup saling mengenal. Aku mantap menghabiskan sisa hidupku bareng kamu," ujar Adrie tiba-tiba saat kami tengah kencan di pantai.
Aku melepas pegangan tangan Adrie. Kaget.
“Aku serius, Bel,” kata Adrie lagi.
Aku masih diam saja. Bengong.
“Bel…"
“Sebelumnya ada hal yang perlu kamu tahu tentang aku, Drie. Aku mau nikah sama kamu, kita hidup sama-sama, tapi hanya kita berdua.”
“Maksud kamu?" tanya Adrie tak mengerti.
“Drie, setelah kita nikah nanti, aku ngga mau hamil dan melahirkan, karena bagiku membangun keluarga bahagia itu tidak harus dengan memiliki anak, kalau tujuan kamu menikah untuk punya anak, aku ngga bisa. Maaf.”
Adrie terdiam saat itu, aku Juga diam. Hening. Hingga akhirnya Adrie berkata, “aku butuh waktu untuk berpikir."
*
Sore itu, sepulang sekolah dari klinik setelah seharian . praktik. Tepat seminggu setelah kejadian di pantai, kulihat Adrie sudah menunggu di depan pintu rumahku. Cepat-cepat aku turun dari mobil dan segera menghampirinya.
“Hai," sapa Adrie. Ternyata , sapaan itu masih membuat . jantungku berdetak tak karuan.
“Hai," jawabku pendek.
“Bel, aku sudah memikirkannya matang-matang, aku sadar. Akuteramat sangat mencintaimu. Aku . mau terima kamu apa adanya.
Aku ngga akan pernah menuntut . . kamu untuk hamil. Jadi, sekali . lagi aku melamarmu. Maukah kau menikah denganku?" tanya Adrie sambil berlutut dan memegang buket bunga tulip kesukaanku.
“Aku mau menikah sama kamu, Drie. Aku cinta kamu juga.”
Kupeluk Adrie erat.
*
Baca Juga : Penyair Gurem dengan Kolor di Kepalanya
Akhirnya kami menikah sebulan . kemudian. Tak ada pesta mewah. Hanya kerabat dan sahabat dekat yang diundang. kami bahagia. Adrie tak pernah sekalipun membahas tentang anak. Ia juga tidak pernah membantah ketika aku memintanya menggunakan alat kontrasepsi.
Semua berjalan lancar. Hingga suatu pagi tepat tiga bulan setelah kami menikah. Aku POSITIF HAMIL!
“Aku ngga mau hamil. Kita kan sudah bersepakat supaya aku jangan sampai hamil. Tapi kenapa sekarang aku bisa hamil, Drie?" kataku saat kami selesai sarapan.
“Ya, namanya juga kontrasepsi, secanggih apapun ngga ada yang seratus persen akurat. Iadi masih ada kemungkinan terjadi pembuahan. Kamu kenapa sih takut banget hamil? Toh, kita sudah suami istri, ngga dosa. Harusnya kita bersyukur sebentar lagi akan jadi orang tua.”
“Aku tetap ngga mau hamil. Aku ngga bisa. Mending gugurin aja!"
“Astaghfirullah, Keterlaluan kamu. Harusnya kamu bersyukur. Banyak perempuan lain yang ingin banget hamil, tapi ngga bisa. Toh, selama ini aku udah berusaha ngertiin kamu, terus kalau sekarang kamu hamil berarti udah kehendak Tuhan.”
Aku terdiam. Adrie benar-benar marah. Selama ini Adrie tak pernah sekalipun bicara nada tinggi kepadaku. Adrie langsung pergi meninggalkan rumah tanpa mencium keningku seperti biasa. Sementara aku masih terduduk, bingung harus berbuat apa.
Sejak hari itu, rumah tangga kami berantakan. Adrie benar-benar marah padaku. Kami hanya bicara seperlunya. Tak ada lagi kemesraan. Kehamilanku dan pertengkaran ini benar-benar membuatku tak nyaman. Adrie tak pernah benar-benar tahu alasanku tak menginginkan kehamilan ini, sebatas yang ia tahu hanya aku tidak siap hamil. Aku harus ' memberitahu sebuah rahasia pada Adrie agar masalah ini cepat selesai. Kutulis sepucuk surat untuknya.
Adrie, suamiku.
Kemarin aku periksa ke dokter kandungan, kehamilanku sudah memasuki minggu kedelapan. Sebenarnya alasanku ngga mau hamil bukan hanya karena aku ngga siap. Aku sebenarnya memiliki trauma mendalam dengan kehamilan. Awalnya aku ingin merahasiakan hal ini padamu, karena aku ngga mau terlihat lemah di matamu. Setelah kupikir, sekarang aku istrimu dan sedang mengandung anakmu, jadi aku merasa wajib memberitahumu.
Drie, 15 tahun lalu, mamaku meninggal ketika melahirkan adikku. Mereka tak bisa diselamatkan. Dan semenjak itu, papaku sakit-sakitan dan setahun setelah mama pergi, papa juga pergi. Semenjak kejadian itu, aku sangat membenci kata hamil dan melahirkan, karena hal itulah yang kuanggap merenggut semua kebahagiaanku secara tiba-tiba, dan sejak itu aku tinggal di panti asuhan.
Maaf, aku memberitahu hal sepenting ini padamu hanya lewat surat, karena sungguh aku tak sanggup menatap matamu yang . masih menyimpan marah padaku. Kuharap kamu mengerti.
Istri yang selalu mencintaimu, Bella.
*
Sejak Adrie membaca suratku, hubungan kami kembali harmonis. Adrie sangat sabar menghadapi tingkahku. Adrie tak pernah absen menemaniku ke dokter kandungan. Selain itu, Adrie juga setia menemani konsultasi ke psikolog untuk membantu menghilangkan rasa traumaku. Demi Adrie dan janin yang sedang kukandung, aku bertekad menghilangkan trauma ini. Secara perlahan mulai muncul rasa sayang pada janin yang kukandung. Rasa sayang yang sungguh istimewa.
*
Kini, aku sudah resmi menjadi ibu. Rasa trauma itu benarbenar sudah hilang. Ternyata mempunyai anak menjadi kebahagiaan tak terhingga bagiku. Aku bersyukur diberi kesempatan menjadi ibu. Sungguh aku menyesal pernah berpikir untuk menggugurkannya.
“Terima kasih sudah amat sabar menghadapi sikapku selama ini, Drie," ucapku sambil mencium punggung tangan Adrie, suamiku.
“Aku yakin kamu akan jadi mama terbaik untuk putri kita," jawab Adrie sambil mengelus rambutku.
Aku memeluk Adrie dan bayiku erat.
Terima kasih Tuhan untuk semua anugerah yang engkau berikan padaku. Aku janji akan kujaga dengan baik.
Cerpen pernah terbit di Pontianak Post pada Minggu, 8 September 2019
Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon