Tepat setahun yang lalu, senja di pantai ini begitu indah. Kala itu, semilir angin sore menerbangkan helaian rambutku. Tangan lembutnya merapikan helaian rambutku. Dengan wajah pucatnya, tak henti-hentinya ia tersenyum padaku.
Perlahan, langit mulai berubah menjadi jingga. Mentari telah siap untuk bersembunyi di peraduannya. Ombak datang dengan damai menyapu pasir di tepi pantai. Senja hari ini, sama indahnya dengan senja setahun yang lalu. Kenangan pahit setahun yang lalu kembali merasuki pikiranku sejak aku tiba di tempat ini. Di tempat inilah, aku mendapati penyesalan yang begitu mendalam. Di tempat ini pula, aku kehilangan hal yang ternyata begitu berharga. Di tempat ini, baru kusadari apa arti kehilangan yang sebenarnya. Dan di tempat ini, aku merasakan cinta yang terlambat kusadari.
Tepat setahun yang lalu, senja di pantai ini begitu indah. Kala itu, semilir angin sore menerbangkan helaian rambutku. Tangan lembutnya merapikan helaian rambutku. Dengan wajah pucatnya, tak henti-hentinya ia tersenyum padaku. Entah mengapa, semakin lama ia semakin kurus dan pucat. Namun, ia selalu mengelak jika kutanyai. Ia selalu menjawab bahwa ia hanya sedang tidak enak badan.
“Nada, kamu cantik. Aku nggak bisa berhenti liatin wajah kamu.”
Pipiku merona mendengar kata-kata yang entah sudah berapa kali ia ucapkan hari ini. “Udah berapa kali kamu bilang itu hari ini, Angga.”
Baca Juga: Sastrawan di Imaji Kalbar
Angga Saputra. Teman dekatku sejak aku duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu, ia dan keluarganya pindah tepat di sebelah rumahku. Aku rasa, mulai saat itulah kami selalu bersama. Pergi sekolah bersama, jalan bersama, hingga jika aku bersedih karena pacarku pun dialah yang selalu setia mendengarkan keluh kesahku dan selalu menjadi penghiburku. Dan kamipun menjadi begitu dekat hingga sekarang.
“Nada, sebelum semuanya terlambat. Aku mau bilang sesuatu ke kamu. Sebenarnya aku mau bilang ini sejak lama.” Ucapannya terhenti sejenak, ia memandangi mataku, begitu dalam. “Aku rasa sekarang adalah saat yang tepat.”
“Terlambat apa? Bilang aja, Ga. Aku pasti dengerin kok.” Aku menggenggam tangannya. Entah mengapa rasanya aku ingin menguatkannya yang terlihat begitu lemah sekarang.
“Sejak dulu, aku udah jatuh hati sama kamu. Benar kata orang, gak akan ada persahabatan tanpa cinta antara laki-laki dan perempuan. Aku ngerasain itu. Tapi, aku tau kamu mungkin nggak ngerasain hal yang sama. Gapapa, Nada. Aku bahagia liat kamu bahagia, meski dengan orang lain.”
Aku terpaku menatap wajahnya yang tersenyum dengan tulus. Tanpa sadar air mataku mengalir begitu saja. Ternyata, selama ini aku telah menyakiti orang yang selalu ada untukku. Hatiku terasa sakit. Jantungku berdebar begitu kencang. Entahlah, perasaan apa ini.
“Hei, Nada. Jangan nangis. Maaf ya aku buat kamu sedih.”
Dengan lembut, tangannya menghapus air mata dipipiku. Bukan, Ga! Akulah yang sudah membuatmu bersedih.
Baca Juga: Puisi| Air yang Bermata Merah
Tiba-tiba, Angga memegang kepalanya dan wajahnya semakin pucat.
“Angga, kamu kenapa?” Ku pegang erat tangannya. Aku khawatir. Benar-benar khawatir.
“Nada, pejamin mata kamu.” Pintanya dengan lemah.
“Tapi, Ga...”
Ia segera memotong ucapanku. “Nada, aku mohon. Pejamin mata kamu ya. Janji jangan buka sebelum aku suruh.”
Dengan berat hati dan dengan tangisanku yang semakin jelas terdengar aku memejamkan mataku, sesuai dengan permintaan Angga. “Angga...”
Suara orang berlarian dan suara sirine Ambulance semakin jelas kudengar mendekati kami. Seakan semua itu telah disiapkan untuk menghadapi keadaan ini. Aku hanya bisa terdiam mendengar semua itu hingga seseorang menyentuh pundakku. “Nada, buka matamu sekarang.” Aku mengenali suara itu, suara yang disertai dengan isak tangis saat itu. Suara Laras, teman sekelasku dan Angga.
“Nggak boleh, Ras. Angga belum nyuruh aku buka mata. Kamu kok bisa disini?” Tangisanku semakin menjadi, begitu juga dengan Laras. Perasaanku sungguh tidak enak.
Laras memelukku erat dengan tangisannya yang begitu kuat. “Angga udah pergi, Nada. Udah pergi.. untuk selamanya.”
Baca Juga: Dampak Gadget Terhadap Minat Baca
Dengan tak percaya aku langsung membuka mataku. Ku lihat, beberapa teman laki-laki sekelasku menaikkan Angga ke tandu dan membawanya masuk ke mobil ambulance.
Siapa yang bisa percaya kala itu? Orang yang begitu dekat denganmu, orang yang baru saja mengungkapkan perasaannya padamu pergi begitu saja. Ya, pergi untuk selamanya tanpa kau ketahui apa alasannya. Saat itu Laras menceritakan semuanya padaku. Tentang Angga yang mengidap penyakit sejak lama namun tak ingin aku tahu, tentang teman-teman sekelasku dan Ambulance yang telah Angga siapkan untuk menghadapi keadaan seperti saat itu.
Aku tak percaya dan begitu terpukul ketika mengingat kejadian itu. Tapi itulah adanya. Yang tersisa hanyalah rasa sakit hati dan penyesalan. Dan rasa cinta yang terlambat kusadari. Rasa cinta yang ternyata tumbuh ketika kami selalu bersama. Di ujung senja, pada hembusan angin dan pada hempasan ombak kubisikkan, “ternyata, aku juga mencintaimu, Angga. Semoga kamu tenang di sana.”
Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon