Tulisan Marlina
"Mereka membaca berita-berita hoax atau berita-berita palsu di internet lebih menarik daripada membaca buku. Inilah masalah serius yang perlu diperhatikan oleh masyarakat."
Budaya literasi
akhir-akhir ini digalakkan penerapannya di Kalbar dalam upaya untuk menumbuhkan
minat baca bagi warga sekolah. Hal ini dilakukan dalam untuk menciptakan
ekosistem literasi di sekolah untuk menigkatkan minat seluruh warga sekolah,
harapannya pembudayaan ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
meskipun tidak sedang berada di lingkungan sekolah.
Tetapi nampaknya
usaha yang dilakukan tersebut tidak berjalan sesuai dengan harapan. Budaya
membaca yang pernah diterapkan di beberapa sekolah tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Karena pada kenyataannya, budaya membaca tersebut dilakukan siswa
atas dasar memenuhi kewajiban saja.
Di luar dari
lungkungan sekolah, hanya sebagian kecil dari siswa tersebut untuk membaca
seperti yang dilakukannya di sekolah. Hal ini sangat disayangkan oleh kita
semua, karena seperti kata pepatah “buku adalah jendela ilmu”, dengan membaca
buku banyak informasi-informasi dan ilmu pengetahuan yang bisa didapatkan.
Siswa
merupakan generasi muda yang menjadi harapan
bangsa dan negara untuk dapat membentuk negara agar menjadi negara yang hebat, seperti
apa yang dicita-citakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Siswa dan pemuda harus siap memikul tanggung jawab dan
berkewajiban untuk membentuk negara yang
lebih baik.
Bukannya tidak
ada yang menerapkan budaya literasi tersebut di kehidupan sehari-hari atau di
luar lingkungan sekolah, tetapi hanya sebagian kecil dari mereka yang
melakukannya. Hal ini tentu saja sangat bertolak
belakang dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah. Mengapa demikian?
Menurut saya,
hal tersebut terjadi karena terutama, kurangnya kesadaran dari dalam diri
sendiri untuk meningkatkan budaya membaca, disusul oleh kurangya kecintaan diri
terhadap membaca, menganggap membaca itu tidak penting, merasa malas untuk membaca, kurangnya sumber sarana literasi, dan kuatnya magnet dari dampak negatif
gawai.
Kesenangan
membaca timbul dari pribadi masing-masing, yang bisa saja karena dorongan dari
luar, misalnya yang terutama adalah dari ligkungan keluarga. Keluarga merupakan
komponen utama dalam membentuk sikap dan perilaku diri seseorang.
Tetapi
kebanyakan, aktivitas membaca di lingkungan rumah masih tergolong
rendah. Orang tua hanya mengajarkan membaca dan menulis biasa, dalam artian
”hanya mengajar” belum masuk ke tahap terbiasa membaca yang akan menjadi budaya
membaca.
Padahal,
mengajarkan anak untuk melakukan budaya literasi ini sangat efektif dilakukan
oleh orang tua dalam lingkungan keluarga. Budaya literasi harus dibiasakan
sejak kecil, karena jika seseorang sudah terbiasa untuk melakukan suatu hal,
maka hal tersebut akan menjadi suatu budaya yang memiliki kemungkinan besar
untuk dilakkan terus-menerus.
Setelah terbiasa
dengan membaca, maka seseorang akan jatuh cinta kepada membaca. Seseorang yang
tidak terbiasa untuk membaca, maka akan timbul rasa malas untuk membasa, karena
mereka menganggap bosan dengan membaca.
Minimnya budaya
literasi juga disebabkan oleh faktor kurangnya sumber sarana literasi. Salah satu sarana literasi adalah
perpustakaan. Kondisi perpustakan di sekolah-sekolah masih banyak yang belum
maksimal penggunaannya.
Keadaan ini
disebabkan oleh kurangnya minat siswa atau mungkin kurangnya ketersediaan
buku-buku yang memadai. Ketersediaan buku yang lama menyebabkan siswa bosan dan
membuat siswa malas untuk berkunjung.
Untuk
meningkatkan budaya lliterasi di sekolah, pemaksimalan perpustakaan juga harus
dilakukan agar siswa merasa bersemangat untuk berkunjung ke perpustakaan.
Kecanggihan teknologi
yang semakin pesat turut menyumbang sebagai salah satu faktor yang ikut
mengikis budaya literasi di Kalbar. Tidak dapat dipungkiri bahwa gawai sangat mempengaruhi anak bangsa,
termasuk mempemgaruhi dalam hal literasi.
Keterlibatan
gawai dalam mempengaruhi budaya literasi di Indonesia tampak pada sikap
orang-orang yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan
gawainya dari pada membaca.
Mereka merasa
bahwa bermain gawai jauh lebih menyenangkan daripada membaca buku, membaca
status-status “kids jaman now” lebih menyenangkan daripada membaca buku. Mereka membaca
berita-berita gosip di internet lebih menarik daripada membaca buku. Mereka membaca
berita-berita hoax atau berita-berita palsu di internet lebih menarik daripada
membaca buku.
Inilah masalah
serius yang perlu diperhatikan oleh masyarakat. Masyarakat harus lebih waspada
terhadap dampak negatif dari perkembangan teknologi yang sangat canggih yang
dapat mengalihkan perhatian anak-anak muda dari budaya membaca.
Dengan gawai
saja, orang dapat berjam-jam bermain dan memandanginya, coba bandingkan dengan
membaca buku, mungkin hanya sedikit yang mau membaca dengan ikhlas selama itu.
Padahal gawai
yang canggih tersebut dapat dijadikan alat untuk memperoleh wawasan dan bahan
literasi yang dapat menambah ilmu dan pengetahuan kita. Makanya,
hidup di zaman modern seperti sekarang ini harus bijak dalam menanggapi segala
sesuatu agar hal-hal negatif tersebut tidak terjadi.
Untuk
meningkatkan budaya literasi, tidak akan maksimal jika hanya dilakukan oleh
pemerintah, tidak hanya adanya sebuah “hobi”, tidak hanya adanya sebuah saranya
literasi yang memadai.
Jika
hanya pemerintah yang menggencarkan budaya literasi, hal ini tidak akan
berhasil, jika hanya ada sebuah “hobi” hal ini tidak akan berhasil, jika hanya
ketersediaan sumber sarana literasi yang memadai, hal ini tidak akan berhasil.
Tetapi, jika
gencarnya usaha pemerintah untuk meningkatkan budaya literasi, diiringi adanya
kemauan dari diri pribadi seseorang dan didukung oleh ketersediaan sumber
sarana literasi yang memadai sehingga menjadi “satu kesatuan paket yang lengkap”,
saya yakin bahwa budaya literasi akan meningkat di Kalimanta Barat.
Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon