Tulisan Adi Wahyudi
Pengalaman pribadi saya sewaktu bersekolah di SMAN 1 Tebas, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, budaya literasi pernah menjadi kebiasaan di sekolah tersebut. Budaya ini di awali dari kurikulum 2013 yang mewajibkan setiap sekolah untuk melakukan budaya literasi. Budaya literasi ini dilakukan setiap sebelum memulai pelajaran atau di waktu pagi, yaitu dari jam 06.45- 07.00.
Di awal-awal semenjak berlakunya program literasi di SMA N 1 tersebut, budaya literasi ini berjalan dengan baik sesuai dengan jadwal dan prosedur yang telah ditentukan. Sebelum memulai pelajaran siswa diharuskan membawa buku yang disukainya untuk dibaca kemudian guru menyuruh menulis bagian penting dari apa yang dibacanya. Hal itu berjalan baik, sehingga budaya literasi berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Tetapi seiring berjalannya waktu, budaya literasi tersebut malah menjadi menurun. Kegiatan literasi tidak sesuai diharapkan. Sebelumnya siswa yang diwajibkan dating sebelum jam 06.45, kini tidak tampak lagi. Malah, siswa dengan santainya masuk lewat dari jam 06.30 tentunya ini dapat mengganggu proses literasi sehingga tidak berjalan lancar.
Ketertiban literasi menurun seperti ada kelas yang melakukan literasi tetapi ada juga kelas yang tidak melakukan literasi. Hal ini sangat disayangkan, karena budaya baik literasi kini menjadi hilang secara perlahan dan mungkin akan mati.
Faktor penting yang menyebabkan budaya literasi itu menjadi hilang adalah kurangnya dukungan dari para guru untuk menjalankan proses literasi. Mengapa, karena faktor utama pelaku dalam proses literasi ini adalah berawal dari guru.
Guru adalah seorang pengajar dan contoh teladan yang baik untuk siswa-siswinya, kalau gurunya dapat mencontohkan perilaku yang baik maka siswa juga dapat mengikuti perilaku gurunya yang baik. Tapi kalau perilaku gurunya tidak dapat memberikan contoh teladan yang baik, apalagi dengan siswanya yang juga akan menjadi siswa yang tidak teladan.
Di SMAN 1 Tebas, guru yang sebelumnya rajin untuk melakukan literasi, sekarang kerajinan itu nampaknya telah pudar. Salah satu contohnya adalah keterlambatan guru sehingga membuat siswanya juga terlambat dan akhirnya budaya literasi tidak dapat dilaksanakan. Inilah yang membuat budaya literasi itu menjadi semakin berkurang.
Penyebab lainnya juga kurang tegasnya kepala sekolah untuk menegur para guru agar tetap menjalankan literasi dengan baik dan dapat tertib lagi. Kalau keadaan ini dibiarkan. Akibatnya membuat siswa tidak ada lagi minat untuk membaca dan menulis. Hal ini tentu sangat tidak diharapkan sekali.
Hal yang dapat dilakukan sekolah sekarang agar budaya literasi tersebut dapat berjalan kembali dengan baik adalah berawal dari gurunya. Kepala sekolah supaya menegaskan kepada guru-guru agar lebih tertib dan menjalankan budaya literasi dengan baik. Tidak jarang, kepala sekolah juga harus member teguran kepada para guru agar melakukan budaya literasi semaksimal mungkin.
Selain itu, guru juga harus menegur siswanya yang datang terlambat agar mereka tidak akan mengulanginya lagi sehingga proses literasi tidak terganggu. Hali ni agar budaya literasi di SMAN 1 Tebas dapat kembali seperti sebelumnya dan menjadi lebih baik.
"Salah satu contohnya adalah keterlambatan guru sehingga membuat siswanya juga terlambat dan akhirnya budaya literasi tidak dapat dilaksanakan. Inilah yang membuat budaya literasi itu menjadi semakin berkurang."Program literasi sudah seharusnya menjadi budaya yang diterapkan oleh seluruh sekolah di Indonesia. Ini agar dapat menambah minat siswa dalam hal membaca dan menulis. Selain itu, program literasi juga bermaksud untuk memacu pemikiran melalui membaca dan menulis sehingga dapat menciptakan suatu karya.
pixabay.com |
Pengalaman pribadi saya sewaktu bersekolah di SMAN 1 Tebas, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, budaya literasi pernah menjadi kebiasaan di sekolah tersebut. Budaya ini di awali dari kurikulum 2013 yang mewajibkan setiap sekolah untuk melakukan budaya literasi. Budaya literasi ini dilakukan setiap sebelum memulai pelajaran atau di waktu pagi, yaitu dari jam 06.45- 07.00.
Di awal-awal semenjak berlakunya program literasi di SMA N 1 tersebut, budaya literasi ini berjalan dengan baik sesuai dengan jadwal dan prosedur yang telah ditentukan. Sebelum memulai pelajaran siswa diharuskan membawa buku yang disukainya untuk dibaca kemudian guru menyuruh menulis bagian penting dari apa yang dibacanya. Hal itu berjalan baik, sehingga budaya literasi berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Tetapi seiring berjalannya waktu, budaya literasi tersebut malah menjadi menurun. Kegiatan literasi tidak sesuai diharapkan. Sebelumnya siswa yang diwajibkan dating sebelum jam 06.45, kini tidak tampak lagi. Malah, siswa dengan santainya masuk lewat dari jam 06.30 tentunya ini dapat mengganggu proses literasi sehingga tidak berjalan lancar.
Ketertiban literasi menurun seperti ada kelas yang melakukan literasi tetapi ada juga kelas yang tidak melakukan literasi. Hal ini sangat disayangkan, karena budaya baik literasi kini menjadi hilang secara perlahan dan mungkin akan mati.
Faktor penting yang menyebabkan budaya literasi itu menjadi hilang adalah kurangnya dukungan dari para guru untuk menjalankan proses literasi. Mengapa, karena faktor utama pelaku dalam proses literasi ini adalah berawal dari guru.
Guru adalah seorang pengajar dan contoh teladan yang baik untuk siswa-siswinya, kalau gurunya dapat mencontohkan perilaku yang baik maka siswa juga dapat mengikuti perilaku gurunya yang baik. Tapi kalau perilaku gurunya tidak dapat memberikan contoh teladan yang baik, apalagi dengan siswanya yang juga akan menjadi siswa yang tidak teladan.
Di SMAN 1 Tebas, guru yang sebelumnya rajin untuk melakukan literasi, sekarang kerajinan itu nampaknya telah pudar. Salah satu contohnya adalah keterlambatan guru sehingga membuat siswanya juga terlambat dan akhirnya budaya literasi tidak dapat dilaksanakan. Inilah yang membuat budaya literasi itu menjadi semakin berkurang.
Penyebab lainnya juga kurang tegasnya kepala sekolah untuk menegur para guru agar tetap menjalankan literasi dengan baik dan dapat tertib lagi. Kalau keadaan ini dibiarkan. Akibatnya membuat siswa tidak ada lagi minat untuk membaca dan menulis. Hal ini tentu sangat tidak diharapkan sekali.
Hal yang dapat dilakukan sekolah sekarang agar budaya literasi tersebut dapat berjalan kembali dengan baik adalah berawal dari gurunya. Kepala sekolah supaya menegaskan kepada guru-guru agar lebih tertib dan menjalankan budaya literasi dengan baik. Tidak jarang, kepala sekolah juga harus member teguran kepada para guru agar melakukan budaya literasi semaksimal mungkin.
Selain itu, guru juga harus menegur siswanya yang datang terlambat agar mereka tidak akan mengulanginya lagi sehingga proses literasi tidak terganggu. Hali ni agar budaya literasi di SMAN 1 Tebas dapat kembali seperti sebelumnya dan menjadi lebih baik.
Tulis Pendapat Anda 0 comments
EmoticonEmoticon